Halaman

Kamis, 15 Desember 2011

Krisis Public Relations (Chapter 2)


Ternyata krisis tidak hanya berlangsung seketika. Krisis juga dapat terjadi secara perlahan-lahan. Berdasarkan waktu terjadinya krisis, Seymour dan Moore (dalam Tench dan Yeomans, 2006) memberikan metapora yang unik, yaitu Cobra Crises (krisis kobra) dan Phyton Crises (krisis piton). Ular kobra merupakan binatang yang sangat mematikan. Bisa yang dihasilkan mampu membunuh siapa saja dalam hitungan detik. Dan itulah yang dimaksud dengan krisis kobra. Krisis yang datang tidak terduga dan membuat panik perusahaan. Berbeda dengan krisis piton, krisis ini datang secara perlahan-lahan. Seperti layaknya ulat piton yang dengan sabar melilit mangsanya. Bahkan lilitan ulat piton ini – perlahan tapi pasti- mampu meremukkan tulang rusuk manusia. Fenomena berkembangnya dunia teknologi informasi setidaknya memberikan dampak bagi perusahaan. Teknologi informasi yang menjanjikan kemudahan dapat menjadi krisis bagi perusahaan yang tidak mampu beradaptasi. Dan hasilnya dapat kita  lihat pada perusahaan-perusahaan yang mengadopsi pelayanan berbasis IT seperti perbankan misalnya.
Krisis yang melanda sebuah perusahaan dapat ditangani melalui beberapa upaya terintegrasi yang disebut manajemen krisis. Baines, Egan dan Jefkins (2004) mendefinisikan manajemen krisis sebagai perencanaan untuk menghadapi berbagai situasi yang tidak dapat diperkirakan kedatangannya. Memang benar, seperti yang sudah saya kemukakan sebelumnya bahwa salah satu sifat krisis adalah unpredictable. Namun, bukan suatu hal yang tidak mungkin bahwa perencanaan dapat dilakukan pada sesuatu yang sulit diperkirakan kapan munculnya.
Hal ini pun senada dengan Tench dan Yeomans (2006) yang menekankan kunci keberhasilan manajemen krisis adalah ketersiapan (preparedness). Persiapan krisis dapat dilakukan dengan mengidentifikasi beberapa perkara yang dapat menimbulkan krisis. Misalnya saja isu kesejahteraan yang sedang melanda di beberapa kawasan di Jawa Barat. Beberapa waktu lalu rombongan buruh mendatangi kantor Bupati Cimahi meminta kenaikan UMK (Upah Minimum Kota). Perusahaan mestinya melakukan persiapan untuk mengantisipasi kenaikan UMK tersebut. Komunikasi yang intensif dan berkesinambungan dapat meningkatkan kewaspadaan perusahaan pada isu kesejahteraan tersebut.
 Krisis dapat terjadi dalam beberapa fase. Kasali (1994) membagi krisis ke dalam empat fase, yaitu (1) Tahap Prodormal, (2) Tahap Akut, (3) Tahap Kronik dan (4) Tahap Resolusi. Tahap prodromal seringkali diabaikan oleh perusahaan. Padahal pada tahap ini beberapa indikasi kemunculan krisis sudah nyata. Oleh karena itu tahap ini juga sering disebut sebagai warning stage. Namun, jika manajemen tidak peka terhadap sinyal-sinyal kemunculan krisis, maka tahap ini juga akan menjadi turning point dan krisis akan bergeser ke tahap yang lebih serius, tahap akut. Para pakar krisis umumnya sependapat bahwa sekalipun krisis pada tahap ini sangat ringan, pemecahan dini secara tuntas sangat penting.
Tahap akut merupakan tahap terjadinya krisis. Pada kasus Freeport, tahap ini ditandai dengan dimulainya demonstrasi karyawan untuk menuntut kenaikan upah. Salah satu kesulitan besar dalam menghadapi krisis  pada tahap ini adalah intensitas dan kecepatan serangan yang datang dari berbagai pihak. Kecepatan ditentukan oleh jenis krisis yang menimpa perusahaan, sedangkan intensitas ditentukan oleh kompleksnya permasalahan.
Tahap selanjutnya, tahap kronis, yang seringkali disebut sebagai clean up phase atau the post mortem. Pada tahap ini perusahaan mulai beradaptasi terhadap krisis. Misalnya saja perubahan structural, penggantian pemilik, suntikan modal baru ataupun kenaikan upah karyawan. Pada tahap ini media massa mulai jenuh memberitakan kondisi perusahaan.
Tahap Resolusi merupakan tahap penyembuhan. Meski bencana besar telah berlalu, seorang manajer krisis tetap perlu berhati-hati. Tahap ini tidak berarti krisis sudah berakhir sepenuhnya. Krisis umumnya berbentuk seperti siklus yang akan membawa kembali pada keadaan semula.
Lain lagi Fearn-Banks (dalam Tench dan Yeomans, 2006) yang membagi krisis ke dalam lima tahap (Five stages of a crisis), yaitu (1) Deteksi (detection), (2) Persiapan/pencegahan (preparation/prevention), (3) Pertahanan/adaptasi (containment), (4) Pemulihan (recovery) dan (5) Pembelajaran (learning). Pada tahap pertama seorang manajer krisis memantau beberapa indikasi yang dapat menimbulkan krisis. Langkah yang dilakukan dengan cara memantau isu yang berkembang diantara publik perusahaan. Misalnya saja isu kesejahteraan di antara karyawan, kenaikan tariff dasar listrik yang akan dilakukan pemerintah, ataupun beberapa keluhan pelanggan.
Tahap persiapan merupakan tahap perencanaan penanganan krisis. Manajer krisis membuat satu kebijakan untuk menghadapi krisis. Seperti menunjuk seorang juru bicara, membentuk tim khusus untuk menangani sumber pemberitaan media ataupun membuat sebuah buku pedoman menangani krisis. Tahap selanjutnya, containment, menandakan krisis sedang berlangsung. Pada tahap ini perusahaan mengimplementasikan berbagai perencanaan yang telah dilakukan. Melakukan product recall, konferensi pers, berunding dengan karyawan yang demonstrasi ataupun langkah lainnya. Tahap pemulihan ditandai dengan kembalinya perusahaan pada aktivitas normal mereka. Penjualan sudah mulai membaik, karyawan yang semula mogok pun sudah kembali bekerja. Lalu selanjutnya krisis yang sudah terjadi sebaiknya dilakukan evaluasi serta pembelajaran. Tahap pembelajaran mengharuskan perusahaan mengambil pelajaran dari krisis yang sudah dilalui. Pembelajaran dilakukan agar perusahaan siap apabila krisis yang sama terjadi kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar