Ternyata krisis
tidak hanya berlangsung seketika. Krisis juga dapat terjadi secara
perlahan-lahan. Berdasarkan waktu terjadinya krisis, Seymour dan Moore (dalam
Tench dan Yeomans, 2006) memberikan metapora yang unik, yaitu Cobra Crises (krisis kobra) dan Phyton Crises (krisis piton). Ular kobra merupakan binatang yang
sangat mematikan. Bisa yang dihasilkan mampu membunuh siapa saja dalam hitungan
detik. Dan itulah yang dimaksud dengan krisis kobra. Krisis yang datang tidak
terduga dan membuat panik perusahaan. Berbeda dengan krisis piton, krisis ini
datang secara perlahan-lahan. Seperti layaknya ulat piton yang dengan sabar
melilit mangsanya. Bahkan lilitan ulat piton ini – perlahan tapi pasti- mampu
meremukkan tulang rusuk manusia. Fenomena berkembangnya dunia teknologi
informasi setidaknya memberikan dampak bagi perusahaan. Teknologi informasi
yang menjanjikan kemudahan dapat menjadi krisis bagi perusahaan yang tidak
mampu beradaptasi. Dan hasilnya dapat kita
lihat pada perusahaan-perusahaan yang mengadopsi pelayanan berbasis IT
seperti perbankan misalnya.
Krisis yang
melanda sebuah perusahaan dapat ditangani melalui beberapa upaya terintegrasi
yang disebut manajemen krisis. Baines, Egan dan Jefkins (2004) mendefinisikan
manajemen krisis sebagai perencanaan untuk menghadapi berbagai situasi yang
tidak dapat diperkirakan kedatangannya. Memang benar, seperti yang sudah saya
kemukakan sebelumnya bahwa salah satu sifat krisis adalah unpredictable. Namun, bukan suatu hal yang tidak mungkin bahwa
perencanaan dapat dilakukan pada sesuatu yang sulit diperkirakan kapan
munculnya.
Hal ini pun senada
dengan Tench dan Yeomans (2006) yang menekankan kunci keberhasilan manajemen
krisis adalah ketersiapan (preparedness).
Persiapan krisis dapat dilakukan dengan mengidentifikasi beberapa perkara yang
dapat menimbulkan krisis. Misalnya saja isu kesejahteraan yang sedang melanda
di beberapa kawasan di Jawa Barat. Beberapa waktu lalu rombongan buruh
mendatangi kantor Bupati Cimahi meminta kenaikan UMK (Upah Minimum Kota). Perusahaan
mestinya melakukan persiapan untuk mengantisipasi kenaikan UMK tersebut. Komunikasi
yang intensif dan berkesinambungan dapat meningkatkan kewaspadaan perusahaan
pada isu kesejahteraan tersebut.
Krisis dapat terjadi dalam beberapa fase. Kasali
(1994) membagi krisis ke dalam empat fase, yaitu (1) Tahap Prodormal, (2) Tahap
Akut, (3) Tahap Kronik dan (4) Tahap Resolusi. Tahap prodromal seringkali
diabaikan oleh perusahaan. Padahal pada tahap ini beberapa indikasi kemunculan
krisis sudah nyata. Oleh karena itu tahap ini juga sering disebut sebagai warning stage. Namun, jika manajemen
tidak peka terhadap sinyal-sinyal kemunculan krisis, maka tahap ini juga akan
menjadi turning point dan krisis akan
bergeser ke tahap yang lebih serius, tahap akut. Para pakar krisis umumnya
sependapat bahwa sekalipun krisis pada tahap ini sangat ringan, pemecahan dini
secara tuntas sangat penting.
Tahap akut
merupakan tahap terjadinya krisis. Pada kasus Freeport, tahap ini ditandai
dengan dimulainya demonstrasi karyawan untuk menuntut kenaikan upah. Salah satu
kesulitan besar dalam menghadapi krisis
pada tahap ini adalah intensitas dan kecepatan serangan yang datang dari
berbagai pihak. Kecepatan ditentukan oleh jenis krisis yang menimpa perusahaan,
sedangkan intensitas ditentukan oleh kompleksnya permasalahan.
Tahap selanjutnya,
tahap kronis, yang seringkali disebut sebagai clean up phase atau the post
mortem. Pada tahap ini perusahaan mulai beradaptasi terhadap krisis.
Misalnya saja perubahan structural, penggantian pemilik, suntikan modal baru
ataupun kenaikan upah karyawan. Pada tahap ini media massa mulai jenuh
memberitakan kondisi perusahaan.
Tahap Resolusi
merupakan tahap penyembuhan. Meski bencana besar telah berlalu, seorang manajer
krisis tetap perlu berhati-hati. Tahap ini tidak berarti krisis sudah berakhir
sepenuhnya. Krisis umumnya berbentuk seperti siklus yang akan membawa kembali
pada keadaan semula.
Lain lagi
Fearn-Banks (dalam Tench dan Yeomans, 2006) yang membagi krisis ke dalam lima
tahap (Five stages of a crisis),
yaitu (1) Deteksi (detection), (2)
Persiapan/pencegahan (preparation/prevention),
(3) Pertahanan/adaptasi (containment),
(4) Pemulihan (recovery) dan (5)
Pembelajaran (learning). Pada tahap
pertama seorang manajer krisis memantau beberapa indikasi yang dapat
menimbulkan krisis. Langkah yang dilakukan dengan cara memantau isu yang
berkembang diantara publik perusahaan. Misalnya saja isu kesejahteraan di
antara karyawan, kenaikan tariff dasar listrik yang akan dilakukan pemerintah,
ataupun beberapa keluhan pelanggan.
Tahap persiapan
merupakan tahap perencanaan penanganan krisis. Manajer krisis membuat satu
kebijakan untuk menghadapi krisis. Seperti menunjuk seorang juru bicara,
membentuk tim khusus untuk menangani sumber pemberitaan media ataupun membuat
sebuah buku pedoman menangani krisis. Tahap selanjutnya, containment, menandakan krisis sedang berlangsung. Pada tahap ini
perusahaan mengimplementasikan berbagai perencanaan yang telah dilakukan.
Melakukan product recall, konferensi
pers, berunding dengan karyawan yang demonstrasi ataupun langkah lainnya. Tahap pemulihan
ditandai dengan kembalinya perusahaan pada aktivitas normal mereka. Penjualan
sudah mulai membaik, karyawan yang semula mogok pun sudah kembali bekerja. Lalu
selanjutnya krisis yang sudah terjadi sebaiknya dilakukan evaluasi serta
pembelajaran. Tahap pembelajaran mengharuskan perusahaan mengambil pelajaran
dari krisis yang sudah dilalui. Pembelajaran dilakukan agar perusahaan siap
apabila krisis yang sama terjadi kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar