Paradigma yang ketiga,
konstruktivisme, merupakan paradigma yang toleran, longgar serta tidak terlalu
mementingkan tahap penelitian. Paradigma ini melahirkan metode penelitian
kualitatif yang memiliki sifat berbeda –sangat berbeda- dengan kuantitatif. Realitass
memiliki sifat relatif, yang merupakan hasil dari konstruksi mental yang
bermacam-macam dan tak dapat diindra (Denzin dan Lincoln, 2009). Realitass
dibentuk oleh pengalaman dan konstruksi sosial yang berlaku. Selain itu, realitass
juga berciri lokal dan spesifik dan bentuk serta isinya bergantung pada manusia
atau kelompok sosial yang memiliki konstruksi tersebut. Tidak ada unsur
generalisasi dalam penciptaan realitass. Dan muncul istilah realitass majemuk
yang merupakan simplifikasi dari banyaknya jumlah realitass yang tercipta.
Bagi kaum konstruktivis, semesta
merupakan suatu konstruksi, artinya bahwa semesta bukan dimengerti sebagai
semesta yang otonom, akan tetapi dikonstruksi secara sosial (Ardianto, 2009). Manusia
merupakan tokoh sentral dalam proses komunikasi. Mirip dengan paradigma
sebelumnya? Tentu tidak, disini komunikasi tidak bergantung pada pengirim
melainkan penerima (recipient-oriented). Ketika penerima memahami pesan yang
disampaikan dan mengonstruksi pesan tersebut sesuai dengan rujukan yang dimiliki,
maka terjadilah proses komunikasi. Seorang bayi yang belum mengerti
ketatabahasaan, apalagi mempelajari voice
akan menangis ketika mendengar ibunya berbicara dengan nada tinggi sembari
melotot. Apa yang ibunya lakukan, ditafsirkan sebagai ekspresi marah oleh bayi
tersebut yang dilanjutkan dengan tangisan sebagai umpan balik. Penafsiran
ucapan dan mimik muka oleh bayi merupakan proses komunikasi yang kemudian
dikenal dengan penciptaan makna.
Sebagai payung dari sebuah
penelitian, karakteristik realitass majemuk menyebabkan tidak berlakunya
generalisasi seperti pada dua paradigma sebelumnya. Aroma penelitian pun
berbeda dengan kuantitatif. Tidak lagi membahas pengaruh, korelasi atau
hubungan sebab akibat lainnya tetapi lebih kepada memahami dan merekonstruksi
berbagai konstruksi yang sebelumnya sudah ada. Penelitian kualitatif tidak
harus membahas suatu permasalahan yang kemudian diharapkan lahir solusi untuk
perbaikan proses komunikasi. Berbagai realitass yang jumlahnya banyak dan
tersebar kemudian dipelajari untuk dipahami.
Dalam memahami isu atau fenomena
yang akan diteliti, nilai-nilai yang ada dalam diri peneliti pun diperbolehkan
ikut campur dalam mewarnai hasil penelitian. Ya, tentu saja hal itu pasti
terjadi. Dalam penelitian konstruktivis, peneliti merupakan instrumen utama.
Kuesioner yang dalam penelitian kuantitatif dijadikan sebagai senjata utama,
hanya menjadi alat bantu –pada saat dibutuhkan- atau bahkan tidak dibutuhkan
sama sekali.
Misalnya saja penelitian berjudul konsep diri anggota komunitas Punk sebagai
identitas di kalangan masyarakat Kota Cirebon atau model komunikasi antarbudaya mahasiswa Cina di President University.
Tidak ada permasalahan yang ingin dikupas pada penelitian tersebut. Konsep diri
ataupun model komunikasi antarbudaya bukanlah sebuah permasalahan yang harus
dipecahkan. Kedua hal tersebut hanyalah realitass yang tercipta sebagai hasil
dari konstruksi sosial di kedua “dunia” tesebut –komunitas punk dan kehidupan
mahasiswa Cina di President University-. Dan jangan pernah coba untuk
mengeneralisasikan hasil penelitian tersebut.
Langkah penelitian yang dilakukan
yaitu mengumpulkan berbagai realitass dan mengkategorikannya sesuai dengan
kerangka penelitian. Peneliti tidak lagi diposisikan sebagai “ahli”, tapi
sebagai partisipan yang penuh empati/semangat yang secara aktif terlibat dalam
upaya mempermudah rekonstruksi (Denzin dan Lincoln, 2009).
Kembali pada peran nilai.
Penelitian konstruktivisme sarat dengan niai. Sebagai instrumen utama dalam
penelitian, peneliti berhak menentukan siapa yang akan menjadi responden –atau
bisa juga disebut dengan informan- serta menentukan kerangka, konsep atau teori
yang digunakan. Tidak seperti mekanisme pemilihan responden (sampling) dalam
kuantitatif, pemilihan responden dalam kualitatif tidak merujuk pada satu rumus
sampling tertentu. Dua metode sampling yang bisa digunakan adalah purposive dan
snowball sampling. Peneliti menentukan sendiri siapa saja sekaligus jumlah
orang yang akan menjadi penyedia informasi.
Karakteristik selanjutnya adalah
Hermeneutis dan Dialektis, yang merupakan sifat variabel dan personal dari
konstruksi sosial yang menunjukkan bahwa konstruksi individu hanya dapat
diciptakan dan disempurnakan melalui interaksi antara dan di antara peneliti
dengan responden (Denzin dan Lincoln, 2009). Peleburan diri peneliti ke dalam dunia objek
penelitian dirasa perlu untuk dapat memahami apa yang sedang terjadi, atau
bagaimana konsensus yang merupakan gabungan dari realitass individu terbentuk. Peneliti
harus dapat merasakan atmosfir yang meliputi dunia objek penelitian. Dari
peleburan diri tersebut, peneliti kemudian dapat memahami setting pengalaman
yang sedang terjadi. Tak ayal, metode observasi dan wawancara pun menjadi
senjata andalan dalam teknik pengumpulan data.
Aroma Hermeneutis mewarnai laporan
penelitian. Subjektivisme yang merupakan ciri khas paradigma konstruktivisme
memberi keleluasaan bagi peneliti untuk mendeskripsikan pemahaman peneliti akan
potret realitas yang menjadi objek penelitian. Realitass yang sejatinya
merupakan bahan dasar penelitian, diramu menjadi laporan menarik berdasarkan
penafsiran peneliti.
Lalu bagaimana dengan paradigma
kritis? Sesuai dengan namanya, ajaran utama yang terkandung dalam paradigma ini
ya kritik. Selalu mempertanyakan situasi yang sedang berlangsung. Peneliti
dalam paradigma ini pun dinobatkan oleh Denzin dan Lincoln (2009) sebagai
intelektual transformatif. Ilmuwan yang selalu menjelaskan bahwa realitas yang
sedang kita jalani ini sebenarnya hanyalah realitas semu. Realitas yang kita
anggap sebagai kehidupan yang biasa saja, merupakan “ciptaan” beberapa orang
saja.
Ada empat kata kunci dalam
paradigma in, yaitu (1) Kritik terhadap dominasi, (2) Ideology, (3) Hegemony
dan (4) Transformasi Sosial. Dominasi dianggap sesuatu yang sangat mengganggu
dan harus dilawan. Bentuk nyata dari dominasi dapat dilihat dari penggunaan
bahasa, kode, simbol yang mengagunggkan kelompok tertentu, sehingga muncullah
kelompok-kelompok termarjinalkan. Salah satu contoh penelitian ini adalah paham
feminis yang selalu mempertanyakan peran-peran perempuan yang seringkali “tidak
dihormati”, terutama sekali pada media massa.
Perempuan cantik selalu digambarkan
sebagai insan yang berkulit putih bersih, bertubuh langsing, tanpa keriput,
tanpa jerawat dan harus menampilkan sebanyak mungkin anggota tubuh mereka untuk
memberi tahu dunia bahwa mereka cantik. Realitas cantik tersebut dianggap oleh
audiens media sebagai sesuatu yang nyata dan seringkali ditemui banyak wanita
yang antri di dokter kulit, setia mengkonsumsi obat pelangsing, panik ketika
satu jerawat muncul. Definisi cantik yang bersifat diskriminatif ini seringkali
dipertanyakan oleh para peneliti. Mengapa harus kulit putih? Mengapa harus
tanpa keriput? Siapa yang merumuskan formula cantik ini? Apakah ada motif
tertentu dibalik konstruksi cantik tersebut? Dan lain sebagainya. Konstruksi
makna cantik tersebut dianggap telah meremehkan wanita golongan tertentu dan
mereka harus disadarkan agar tidak terlalu lama terjebak pada realitas palsu.
Banyak ilmuwan paradigma kritis
beranggapan dominasi yang dilakukan tersebut berlandaskan pada ideologi
kelompok tertentu. Ideologi tersebut dipaksakan dengan media massa sebagai means of production bagi kelas penguasa (ruling
class). Yup, paradigma kritis ini memang mengangkat pamor para konglomerat –terutama
yang memiliki media massa- dan menitikberatkan nilai-nilai mereka kedalam pesan-pesan
media. Hegemony –istilah yang dipopulerkan oleh Antonio Gramsci- merupakan landasan
bagi paradigma ini untuk melangkah. Dominasi satu kelas (ruling class) terhadap
kelas lain merupakan situasi yang kerap kali dikritik.
Realitas merupakan realisme
historis (Denzin dan Lincoln, 2009). Sebuah realitas bisa dipahami pernah suatu
ketika lentur, namun, dari waktu ke waktu dibentuk oleh serangkaian faktor
sosial, politik, budaya, ekonomi, etnik dan gender yang kemudian mengkristal ke
dalam serangkaian struktur yang saat ini (secara tidak tepat) dipandang sebagai
yang “nyata” (Denzin dan Lincoln, 2009). Realitas inilah yang kemudian menjadi
objek penelitian paradigma kritis.
Dunia, menurut paradigma kritis,
merupakan kumpulan dari dua pandangan yang berbeda. Peneliti dipandang sebagai
sekumpulan orang-orang yang sadar adanya realitas palsu. Pesan-pesan komunikasi
yang orang lain anggap sebagai pesan murni, dipandang sebagai pesan-pesan yang
bermuatan nilai-nilai yang bertujuan mengarahkan audiens pada pola pikir yang
diinginkan oleh komunikator. Dan audiens merupakan sekumpulan orang-orang yang
penuh dengan kesalahpahaman serta ketidaktahuan. Mereka selalu beranggapan
bahwa apa yang mereka terima (-pesan) bebas nilai. Tidak ada kesadaran bahwa
pikiran mereka digiring ke arah tertentu.
Bahan Bacaan:
Ardianto, Elvinaro dan Q-Anees, Bambang. 2009. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung:
Simbiosa Rekatama Media
Denzin, Norman K. dan Lincoln, Yvonna S. 2009. Handbook of Qualitative Research.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ritzer, George (ed.). 2005. Encyclopedia of Social Theory: Volume II. California: Sage
Publication