Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 ini menjelaskan aturan
main ketenagakerjaan di Indonesia. Struktur anatomi undang-undang ini terdiri
dari 18 bab dan 192 pasal dengan rincian sebagai berikut:
1)
Bab
I tentang Ketentuan Umum
2)
Bab
II tentang Landasan, asas dan tujuan
3)
Bab
III tentang Kesempatan dan perlakuan yang sama
4)
Bab
IV tentang Perencanaan dan informasi ketenagakerjaan
5)
Bab
V tentang Pelatihan kerja
6)
Bab
VI tentang Penempatan tenaga kerja
7)
Bab
VII tentang Perluasan kesempatan kerja
8)
Bab
VIII tentang Penggunaan tenaga kerja asing
9)
Bab
IX tentang Hubungan kerja
10) Bab X tentang Perlindungan , pengupahan dan kesejahteraan
11) Bab XI tentang Hubungan
industrial
12) Bab XII tentang Pemutusan
Hubungan Kerja
13) Bab XIII tentang Pembinaan
14) Bab XIV tentang Pengawasan
15) Bab XV tentang Penyidikan
16) Bab XVI tentang Ketentuan umum
dan sanksi administratif
17) Bab XVII tentang Ketentuan
peralihan dan
18) Bab XVIII tentang Ketentuan
Penutup
Undang-undang ini menjelaskan hak dan kewajiban dari
masing-masing komponen yang terlibat dalam hubungan industrial, yaitu
pemerintah (selaku regulator), pengusaha / perusahaan (selaku penyedia lapangan
kerja) dan masyarakat pekerja.
Peran pemerintah antara lain tercermin dari bab 3 sampai bab
8, yaitu pemerintah bertanggung jawab atas kesempatan dan perlakuan yang sama,
perencanaan dan informasi ketenagakerjaan, pelatihan kerja, penempatan tenaga
kerja, perluasan kesempatan kerja dan penggunaa tenaga kerja asing. Peran
pertama ini menitikberatkan peran pemerintah selaku penjamin kesempatan dan
perlakuan yang sama dalam hubungan kerja. Pemerintah ditekankan untuk menjadi
pengawas bagi para penyedia lapangan kerja. Bentuk pengawasan dapat dilakukan
dengan membuat peraturan pemerintah ataupun pengawasan langsung ke pengusaha
atau perusahaan.
Peran selanjutnya yang dipegang oleh pemerintah adalah
sebagai perencana dan penydia informasi ketenagakerjaan. Disini pemerintah
diharapkan dapat menjadi penggagas ide mengenai pemetaan/distribusi tenaga
kerja. Saya rasa pemerintah saat ini, kurang mampu memegang peran seperti ini.
Menurut pengamatan saya, kementrian tenaga kerja dan transmigrasi –sebagai
pemegang mandat ini- beserta kementerian lainnya masih kebingungan dengan tugas
dan fungsi sebagai perencana pembangunan.
Pemerintah –baik daerah ataupun pusat- memiliki blueprint akan perencanaan tenaga kerja.
Dan, urbanisasi secara besar-besaran merupakan salah satu bentuk kegagalan yang
nyata. Pemerintah -terutama di daerah- tidak mampu menyediakan lapangan kerja.
Pasal 7 Undang-undang ini menegaskan bahwa pemerintah menetapkan kebijakan dan menyusun
perencanaan tenaga kerja. Namun, dari pengamatan kasat mata saja sudah dapat
kita saksikan berapa juta orang di pedesaan ataupun kota kecil yang mengeluh
kurang tersedianya lapangan kerja bagi mereka. Pertanian, peternakan ataupun kelautan
mestinya menjadi ladang pencetak uang yang ideal bagi mereka.
Namun, pada kenyataannya sektor ini kurang mendapat
perhatian dari pemerintah daerah. Misalnya saja pada kenyataan yang terjadi di
daerah pantura seperti Indramyu, Cirebon, Tegal dan Brebes. Empat kota ini
merupakan kota yang terletak di pesisir pantai utara. Dan mestinya laut dapat
menjadi lahan ideal untuk mencari nafkah. Namun, tidak sedikit dari mereka yang
putus asa dan memilih untuk pergi ke kota besar seperti Bandung atau Jakarta untuk
mencari nafkah.
Padahal pemerintah pusat sudah mengalirkan dana yang cukup
besar untuk pembangunan di daerah. Misalnya saja pada proyek PNPM (Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat) ataupun KUR (Kredit Usaha Rakyat). Dua
program ini sudah semestinya menjadi katalis pembangunan di daerah. Dengan
digelontorkannya dana pinjaman yang tidak sedikit dari PNPM-Mandiri, seharusnya
sudah ada titik cerah bagi pemberdayaan masyarakat di daerah. Dengan
digelontorkannya dana yang tidak sedikit juga dari KUR, seharusnya rakyat tidak
kesulitan lagi untuk memulai berdikari di daerah mereka sendiri.
Untuk Pelatihan Kerja (Bab V, pasal 9 – 30), nampaknya sudah
ada itikad baik dari pemerintah yaitu dengan didirikannya Balai Latihan Kerja
yang tersebar di kota besar ataupun di daerah. Salah satunya adalah Balai
Latihan Kerja Daerah (BLKD) Jakarta yang berlokasi di Jalan Karet Pasar Baru
Barat V No. 23, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Berdasarkan data-data yang
didapat melalui website resmi BLKD Jakarta (http://blkd.webs.com) nampak antusias masyarakat
cukup besar. Antara lain dengan jumlah peserta latihan kerja yang menembus
angka 100 orang. Dan program kerja yang ditawarkan pun cukup menggiurkan. Serta
terjalinnya kerja sama yang baik antara BLKD dengan lebih dari 50 penyedia
lapangan kerja. Penyelenggaran BLK ini sendiri merupakan amanat dari
undang-undang ketenagakerjaan, pasal 9 sampai dengan pasal 30.
Bagian selanjutnya yang juga merupakan salah satu celah dari
undang-undang ini adalah penggunaan tenaga kerja asing (Bab 8, pasal 42 – 49). Secara
umum, bab 8 ini menjelaskan bahwa tenaga asing boleh bekerja di Indonesia untuk
jabatan tertentu dalam waktu tertentu, namun dilarang keras duduk di jabatan
personalia. Sungguh ironis sekali, karena justru ini merupakan blunder tersendiri bagi negara kita.
Pasal ini justru dijadikan landasan yang empuk bagi perusahaan multinasional
yang ingin membuka cabang di Indonesia. Dan dengan adanya kelonggaran
penempatan tenaga kerja asing, perusahaan multinasional ini justru tidak
merelakan posisi Chief Excecutive Officer mereka diraih oleh bangsa pribumi
(red. Warga negara Indonesia). Misalnya Yoon-Woo Lee (CEO Samsung Indonesia),
Miki Yamamoto (CEO Astra Honda Indonesia) dan Bob McDougall (CEO Nokia Indonesia).
Dan beberapa jajaran direksi dari tiga perusahaan tersebut yang masih
didominasi oleh tenaga kerja asing.
Ironis dan cukup menyedihkan. Atasan didominasi oleh tenaga
kerja asing, sementara karyawan/buruh/bawahan didominasi oleh bangsa pribumi.
Hal ini memang semakin menggambarkan pola neo-kolonialisasi di sektor ekonomi.
Apa bedanya dengan zaman penjajahan dulu, dimana rakyat kita hanya bekerja
sebagai buruh tani, buruh tanam paksa ataupun buruh pembangunan jalan
Anyer-Panarukan. Pemerintah selalu bersembunyi dibalik kata-kata “percepatan
pertumbuhan ekonomi dengan modal investor asing” untuk menutupi kelemahan ini.
Pola hubungan
kerja yang ditawarkan undang-undang ini cukup menarik dan menimbulkan sedikit
–atau bahkan banyak- polemik. Pasal 50 – 66 menjelaskan bahwa setidaknya ada
tiga hubungan kerja yang dapat digunakan. Hubungan pertama adalah kontrak,
pegawai tetap ataupun pelimpahan pekerjaan pada pihak ketiga (tender dan
outsourcing).
Saat ini
kontrak sedang menjadi tren tersendiri dalam dunia pekerjaan dan kerap
disalahgunakan. Penyalahgunaan sistem kontrak –sekaligus penggunaan tenaga
kerja asing dapat kita saksikan pada kasus pemogokan pilot dan awak kabin
Garuda Indonesia akhir Juli lalu. Pilot asing dipekerjakan dengan sistem
kontrak selama satu tahun dan bisa diperpanjang. Dalam maskapai penerbangan,
profesi pilot tidak dapat dikategorikan sebagai jenis pekerjaan kontrak (pasal
59 ayat 1). Dan terang saja pilot lokal melancarkan aksi mogok kerja karena
pihak manajemen telah mempraktekkan sistem yang keliru.