Halaman

Selasa, 06 Desember 2011

PHK : Antara Realita dan Undang-undang (Chapter 2)


PHK: Tinjauan Undang-Undang
Kasus PHK memang seringkali menghiasi hubungan industrial antara manajemen dengan karyawan. Namun, PHK tidak dibenarkan untuk sering dilakukan oleh perusahaan. PHK bersifat ‘makruh’, artinya boleh saja dilakukan tapi tidak dianjurkan. Melalui Undang-undang nomor 13 tahun 2003, pemerintah telah melindungi hak-hak pekerja termasuk Pemutusan Hubungan Kerja.
Bab 12 undang-undang ini dikhususkan berbicara mengenai pemutusan hubungan kerja. Aturan main sudah dijelaskan secara rinci pada bab ini. Misalnya ruang lingkup PHK, yaitu pada badan usaha yang berbadan hukum atau tidak (pasal 150). Dijelaskan lebih rinci lagi kepemilikan badan hukum tersebut serta terdapat ketentuan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah dan imbalan dalam bentuk lain. Itu artinya PHK berlaku pada ikatan kerjasama antara majikan dengan karyawan. Ikatan kerjasama antara majikan dengan karyawan tergambar jelas pada kata membayar upah dan mempekerjakan.
Namun, PHK sangat tidak dianjurkan. Pasal 151 menerangkan dengan jelas bahwa pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat/buruh, buruh dan pemerintah dengan segala upaya mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. Benar-benar rangkaian kata yang manis untuk melindungi kelangsungan hidup para pekerja. Di negara yang angka pengangguran cukup tinggi –seperti Indonesia- PHK memang menjadi hal yang sangat menakutkan. Misalnya saja pada krisis moneter yang melanda Indonesia. Beberapa perusahaan harus merumahkan sebagian besar karyawannya lantaran ketidakmampuan bertahanan hidup di nuansa krisis.
Namun, apakah benar upaya pencegahan PHK telah terwujud dalam kehidupan nyata? Majikan, karyawan dan pemerintah merupakan ‘tiga serangkai’ yang terlibat dalam lingkup ketenagakerjaan ini. Karyawan tidak memiliki peran yang cukup besar dalam realisasi pasal ini. Karena PHK merupakan kuasa perusahaan serta pengawasan pemerintah.
Pasal 153-155 dengan sangat jelas memberi batasan mengenai PHK. Namun, aksi Freeport memecat Sudiro karena telah memprakarsai aksi mogok karyawan tidak bisa diterima begitu saja. Upaya Sudiro memperjuangkan kesejahteraan karyawan Freeport jelas tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan yang disebut dalam pasal 158. Sudiro justru sedang melakukan aktivitas serikat pekerja.
Kasus Sudiro ini seharusnya diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial atau Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi seperti yang ditempuh karyawan Bakrie Life. Kedua lembaga ini memang sudah seharusnya memposisikan diri mereka sebagai mediator pada kasus-kasus hubungan industrial. Tapi tidak terjadi pada kasus Sudiro.
Sudiro dipecat secara sepihak oleh perusahaan. Aktivitas Sudiro dianggap memprovokasi karyawan lain untuk menuntut kesejahteraan. Dan memang aksi Sudiro ini cukup berhasil. Sudiro telah berhasil membangunkan naga tidur. Semua karyawan Freeport (non-staff) pada akhirnya mogok kerja menuntut kenaikan upah. Dan sampai saat ini aksi masalah upah ini belum mencapai titik temu.
Namun, pemecatan sepihak ini memang telah mencoreng hubungan industrial di Indonesia. Sudiro tidak melakukan satu hal pun yang tercatat pada pasal 158 ayat 1. Dan ini tidak semestinya terjadi di negara hukum seperti Indonesia.
Berbeda dengan kasus Mandala yang terpaksa mem-PHK sebagian besar karyawan karena masalah keuangan. Hal ini memang lumrah dan merupakan jalan terbaik bagi kedua belah pihak. Pasal 164 ayat 1 menerangkan bahwa perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja karena perusahaan mengalami kerugian. Dan memang itulah yang terjadi pada Mandala, pemutusan hubungan kerja damai.
Kasus Bakrie Life merupakan kasus yang harusnya dijadikan para legislatif untuk membahas ulang undang-undang ketenagakerjaan. Pasal 156 ayat 1 sampai 5 membahas secara rinci perhitungan upah dan penghargaan masa kerja yang harus dibayarkan kepada karyawan. Tapi tidak ada satu ayatpun yang menegaskan bahwa pesangon harus dibayar tunai. Kata diwajibkan membayar pada ayat 1 tidak menerangkan bahwa pesangon harus dibayar tunai. Membayar bisa menjadi ambigu mengingat ragam alat pembayaran yang biasa dilakukan oleh kita. Alat pembayaran yang berlaku di masyarakat ada beragam;  uang, cek, giro, transfer dan lain-lain.
Pengadilan hubungan industrial menyalahkan Bakrie Life dengan dalil surat hutang hanya berlaku bagi hubungan perusahaan dengan investor. Pengadilan hubungan industrial tidak menyalahkan Bakrie Life sepenuhnya karena tidak ada satupun ayat yang dilanggar. Oleh karena itu, kasus Bakrie Life sebaiknya dijadikan acuan untuk mengulas undang-undang ini.
Ketiga kasus yang saya bawa hanyalah segelintir dari sekian banyak kasus PHK ataupun hubungan industrial lain yang terjadi di Indonesia. Gresik merupakan salah satu kota dengan kasus PHK yang cukup tinggi, 110 kasus terjadi tiap tahun[1]. Berdasarkan data Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Gresik angka kasus PHK perorangan mencapai angka 90 hingga 110 per tahun mulai tahun 2008.
Peran Public Relations
Public relations dalam perusahaan memegang peran yang cukup vital dalam pembentukan hubungan industrial harmonis. Karyawan merupakan salah satu publik dalam kegiatan public relations. Dan public relations bertanggung jawab atas segala komunikasi yang terjalin antara perusahaan (manajemen) dengan karyawan.
Moore (2005) menyatakan bahwa landasan bagi hubungan karyawan yang baik adalah sebagai berikut:
1)      Memberikan pekerjaan yang teratur,
2)      Kondisi pekerjaan yang baik,
3)      Upah memadai,
4)      Kesempatan memperoleh kemajuan,
5)      Penghargaan terhadap prestasi,
6)      Pengawasan yang baik,
7)      Kesempatan mengemukakan pendapat.
Landasan-landasan tersebut dapat ditempuh dengan sistem manajemen terbuka (open management). Dengan sistem manajemen terbuka, arus lalu lintas komunikasi antara karyawan dengan pimpinan akan lebih padat dan lancar. Pihak pimpinan tidak boleh lagi memandang karyawan sebagai mesin/robot yang hanya cukup dengan perintah, tapi juga harus diperlakukan sebagai manusia yang memiliki kehendak, kepuasan kerja, keluhan dan lain-lain.
Ruslan (2006) menyatakan bahwa hubungan kepegawaian (employee relations) tidak dilihat dalam pengertian yang sempit, yaitu sama dengan hubungan industrial yang hanya menekankan pada proses “produksi” dan upah. Hubungan tersebut lebih dipengaruhi oleh hubungan komunikasi internal antara karyawan dengan karyawan, dan hubungan antara karyawan dengan manajemen.
Dengan diberlakukannya manajemen terbuka, produktivitas perusahaan akan meningkat –secara kualitas ataupun kuantitas. Pencapaian produktivitas itu bukan hanya merupakan hasil kerja keras dari pihak pekerjanya, tetapi juga berkaitan dengan hasil motivasi dan prestasi para pekerja yang bersedia dengan penuh semangat, memiliki kebanggaan, berdisiplin tinggi serta mampu mencapai pencapaian kerja yang efektif dan efisien.
Menurut Alvie Smith (dalam Cutlip, Center dan Broom : 2009) ada dua faktor yang mempengaruhi komunikasi internal dengan karyawan dan menambah rasa hormat manajemen terhadap salah satu fungsi humas:
1)      Manfaat dari pemahaman, teamwork, dan komitmen karyawan dalam mencapai hasil yang diinginkan. Aspek positif perilaku karyawan ini sangat dipengaruhi oleh komunikasi internal yang efektif di seluruh organisasi.
2)      Kebutuhan untuk membangun jaringan komunikasi manajer yang kuat, yang membuat setiap supervisor di semua level dapat melakukan komunikasi secara efektif dengan karyawannya. Kebutuhan ini lebih dari sekadar menciptakan informasi yang berhubungan dengan pekerjaan tetapi juga harus memuat informasi bisnis dan isu publik yang mempengaruhi organisasi secara keseluruhan.
Bentuk komunikasi dua arah yang terjalin secara efektif dipercaya dapat membebaskan karyawan untuk menyampaikan keinginan, kebutuhan serta keluhan. Dan komunikasi dua arah pun dapat menjadi saluran yang tepat bagi perusahaan untuk menyampaikan visi, misi dan beberapa kebijakan. Dengan cara ini maka kebutuhan karyawan dan kebutuhan manajemen akan menemukan titik terang demi efesiensi dan pencapaian tujuan organisasi.

Komunikasi Internal : Media Pembinaan Hubungan Baik dengan Karyawan
Seperti yang sudah saya jelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa industrial peace dapat dicapai dengan pembinaan hubungan baik antara pimpinan dengan karyawan,  yaitu dengan pemberlakuan manajemen terbuka. Komunikasi internal perusahaan dapat dibagi menjadi dua, yaitu komunikasi dari manajemen kepada karyawan dan komunikasi karyawan kepada manajemen.
Komunikasi internal bentuk pertama dapat berupa pidato, sistem informasi melalui sms ataupun internet, rapat manajemen-karyawan, program televisi internal, majalah karyawan, papan pengumuman dan berbagai bentuk lainnya. Masing-masing tentu memiliki kelebihan dan kekurangan. Bentuk komunikasi lisan –pidato, rapat- lebih efektif untuk menyampaikan informasi yang cepat basi dan komunikasi cetak untuk menyampaikan informasi yang lebih komplek dan padat –seperti penyebaran budaya organisasi-.
Komunikasi dari karyawan kepada manajemen dapat berupa penelitian sikap karyawan, keluhan karyawan, partisipasi karyawan dalam acara-acara perusahaan ataupun percakapan informal dengan pengawas/pimpinan. Suatu kebijaksanaan manajemen terbuka memberi kesempatan kepada karyawan  untuk membicarakan kebijaksanaan  dan pelaksanaan perusahaan dengan manajemen. Keinginan dari sebagian pengawas/pimpinan untuk mendengarkan karyawan akan meningkatkan komunikasi dan pengertian.
Bentuk komunikasi yang dijalankan tentunya akan beragama pada setiap organisasi. Hal ini bergantung pada budaya organisasi tersebut. Bagi organisasi yang biasa menjalankan kegiatan operasionalnya dengan manajemen tertutup tentu harus merubah secara radikal budaya tersebut. Dan perubahan ini tentu bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan.
Budaya organisasi merupakan hal yang membedakan antara suatu organisasi dengan organisasi lainnya. Budaya organisasi mendefinisikan nilai dan norma  yang dipakai oleh pembuat  keputusan di dalam organiasi. Pandangan dan budaya organisasi mendefinisikan rentang tanggapan yang tersedia dalam situasi isu tertentu. meskipun seringkali tidak dibicarakan, budaya organisasi sangat mempengaruhi bagaimana perilaku didefinisikan dalam organisasi.
  



Daftar Pustaka
Moore, Frazier. 2005. Humas : Membangun Citra dengan Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Ruslan, Rosady. 2006. Manajemen Public Relations dan Media Komunikasi : Konsep dan Aplikasi. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Cutlip, Center dan Broom. 2009. Effective Public Relations. Jakarta : Prenada Media Grup.


[1] http://surabaya.tribunnews.com/m/index.php/2011/10/16/110-kasus-phk-setiap-tahun-di-gresik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar