PHK: Tinjauan Undang-Undang
Kasus PHK
memang seringkali menghiasi hubungan industrial antara manajemen dengan
karyawan. Namun, PHK tidak dibenarkan untuk sering dilakukan oleh perusahaan.
PHK bersifat ‘makruh’, artinya boleh saja dilakukan tapi tidak dianjurkan.
Melalui Undang-undang nomor 13 tahun 2003, pemerintah telah melindungi hak-hak
pekerja termasuk Pemutusan Hubungan Kerja.
Bab 12
undang-undang ini dikhususkan berbicara mengenai pemutusan hubungan kerja.
Aturan main sudah dijelaskan secara rinci pada bab ini. Misalnya ruang lingkup
PHK, yaitu pada badan usaha yang berbadan hukum atau tidak (pasal 150).
Dijelaskan lebih rinci lagi kepemilikan badan hukum tersebut serta terdapat
ketentuan mempekerjakan orang lain dengan
membayar upah dan imbalan dalam bentuk lain. Itu artinya PHK berlaku pada
ikatan kerjasama antara majikan dengan karyawan. Ikatan kerjasama antara
majikan dengan karyawan tergambar jelas pada kata membayar upah dan
mempekerjakan.
Namun, PHK
sangat tidak dianjurkan. Pasal 151 menerangkan dengan jelas bahwa pengusaha, pekerja/buruh, serikat
pekerja/serikat/buruh, buruh dan pemerintah dengan segala upaya mengusahakan
agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. Benar-benar rangkaian kata
yang manis untuk melindungi kelangsungan hidup para pekerja. Di negara yang
angka pengangguran cukup tinggi –seperti Indonesia- PHK memang menjadi hal yang
sangat menakutkan. Misalnya saja pada krisis moneter yang melanda Indonesia.
Beberapa perusahaan harus merumahkan sebagian besar karyawannya lantaran
ketidakmampuan bertahanan hidup di nuansa krisis.
Namun, apakah
benar upaya pencegahan PHK telah terwujud dalam kehidupan nyata? Majikan,
karyawan dan pemerintah merupakan ‘tiga serangkai’ yang terlibat dalam lingkup
ketenagakerjaan ini. Karyawan tidak memiliki peran yang cukup besar dalam
realisasi pasal ini. Karena PHK merupakan kuasa perusahaan serta pengawasan
pemerintah.
Pasal 153-155
dengan sangat jelas memberi batasan mengenai PHK. Namun, aksi Freeport memecat
Sudiro karena telah memprakarsai aksi mogok karyawan tidak bisa diterima begitu
saja. Upaya Sudiro memperjuangkan kesejahteraan karyawan Freeport jelas tidak
dapat dikategorikan sebagai tindakan yang disebut dalam pasal 158. Sudiro
justru sedang melakukan aktivitas serikat pekerja.
Kasus Sudiro
ini seharusnya diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial atau Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi seperti yang ditempuh karyawan Bakrie Life. Kedua
lembaga ini memang sudah seharusnya memposisikan diri mereka sebagai mediator
pada kasus-kasus hubungan industrial. Tapi tidak terjadi pada kasus Sudiro.
Sudiro dipecat
secara sepihak oleh perusahaan. Aktivitas Sudiro dianggap memprovokasi karyawan
lain untuk menuntut kesejahteraan. Dan memang aksi Sudiro ini cukup berhasil.
Sudiro telah berhasil membangunkan naga tidur. Semua karyawan Freeport
(non-staff) pada akhirnya mogok kerja menuntut kenaikan upah. Dan sampai saat
ini aksi masalah upah ini belum mencapai titik temu.
Namun,
pemecatan sepihak ini memang telah mencoreng hubungan industrial di Indonesia.
Sudiro tidak melakukan satu hal pun yang tercatat pada pasal 158 ayat 1. Dan
ini tidak semestinya terjadi di negara hukum seperti Indonesia.
Berbeda dengan
kasus Mandala yang terpaksa mem-PHK sebagian besar karyawan karena masalah
keuangan. Hal ini memang lumrah dan merupakan jalan terbaik bagi kedua belah
pihak. Pasal 164 ayat 1 menerangkan bahwa perusahaan dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja karena perusahaan mengalami kerugian. Dan memang itulah yang
terjadi pada Mandala, pemutusan hubungan kerja damai.
Kasus Bakrie
Life merupakan kasus yang harusnya dijadikan para legislatif untuk membahas
ulang undang-undang ketenagakerjaan. Pasal 156 ayat 1 sampai 5 membahas secara
rinci perhitungan upah dan penghargaan masa kerja yang harus dibayarkan kepada
karyawan. Tapi tidak ada satu ayatpun yang menegaskan bahwa pesangon harus
dibayar tunai. Kata diwajibkan membayar
pada ayat 1 tidak menerangkan bahwa pesangon harus dibayar tunai. Membayar bisa
menjadi ambigu mengingat ragam alat pembayaran yang biasa dilakukan oleh kita.
Alat pembayaran yang berlaku di masyarakat ada beragam; uang, cek, giro, transfer dan lain-lain.
Pengadilan
hubungan industrial menyalahkan Bakrie Life dengan dalil surat hutang hanya
berlaku bagi hubungan perusahaan dengan investor. Pengadilan hubungan
industrial tidak menyalahkan Bakrie Life sepenuhnya karena tidak ada satupun
ayat yang dilanggar. Oleh karena itu, kasus Bakrie Life sebaiknya dijadikan
acuan untuk mengulas undang-undang ini.
Ketiga kasus
yang saya bawa hanyalah segelintir dari sekian banyak kasus PHK ataupun
hubungan industrial lain yang terjadi di Indonesia. Gresik merupakan salah satu
kota dengan kasus PHK yang cukup tinggi, 110 kasus terjadi tiap tahun[1].
Berdasarkan data Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Gresik angka kasus PHK
perorangan mencapai angka 90 hingga 110 per tahun mulai tahun 2008.
Peran Public Relations
Public
relations dalam perusahaan memegang peran yang cukup vital dalam pembentukan
hubungan industrial harmonis. Karyawan merupakan salah satu publik dalam
kegiatan public relations. Dan public relations bertanggung jawab atas segala
komunikasi yang terjalin antara perusahaan (manajemen) dengan karyawan.
Moore (2005) menyatakan bahwa
landasan bagi hubungan karyawan yang baik adalah sebagai berikut:
1)
Memberikan pekerjaan yang teratur,
2)
Kondisi pekerjaan yang baik,
3)
Upah memadai,
4)
Kesempatan memperoleh kemajuan,
5)
Penghargaan terhadap prestasi,
6)
Pengawasan yang baik,
7)
Kesempatan mengemukakan pendapat.
Landasan-landasan tersebut dapat ditempuh dengan sistem
manajemen terbuka (open management).
Dengan sistem manajemen terbuka, arus lalu lintas komunikasi antara karyawan
dengan pimpinan akan lebih padat dan lancar. Pihak pimpinan tidak boleh lagi
memandang karyawan sebagai mesin/robot yang hanya cukup dengan perintah, tapi
juga harus diperlakukan sebagai manusia yang memiliki kehendak, kepuasan kerja,
keluhan dan lain-lain.
Ruslan (2006) menyatakan bahwa hubungan kepegawaian (employee relations) tidak dilihat dalam
pengertian yang sempit, yaitu sama dengan hubungan industrial yang hanya
menekankan pada proses “produksi” dan upah. Hubungan tersebut lebih dipengaruhi
oleh hubungan komunikasi internal antara karyawan dengan karyawan, dan hubungan
antara karyawan dengan manajemen.
Dengan diberlakukannya manajemen terbuka, produktivitas
perusahaan akan meningkat –secara kualitas ataupun kuantitas. Pencapaian
produktivitas itu bukan hanya merupakan hasil kerja keras dari pihak
pekerjanya, tetapi juga berkaitan dengan hasil motivasi dan prestasi para
pekerja yang bersedia dengan penuh semangat, memiliki kebanggaan, berdisiplin
tinggi serta mampu mencapai pencapaian kerja yang efektif dan efisien.
Menurut Alvie Smith (dalam Cutlip, Center dan Broom : 2009)
ada dua faktor yang mempengaruhi komunikasi internal dengan karyawan dan
menambah rasa hormat manajemen terhadap salah satu fungsi humas:
1)
Manfaat dari pemahaman, teamwork, dan komitmen
karyawan dalam mencapai hasil yang diinginkan. Aspek positif perilaku karyawan
ini sangat dipengaruhi oleh komunikasi internal yang efektif di seluruh
organisasi.
2)
Kebutuhan untuk membangun jaringan komunikasi
manajer yang kuat, yang membuat setiap supervisor di semua level dapat
melakukan komunikasi secara efektif dengan karyawannya. Kebutuhan ini lebih
dari sekadar menciptakan informasi yang berhubungan dengan pekerjaan tetapi
juga harus memuat informasi bisnis dan isu publik yang mempengaruhi organisasi
secara keseluruhan.
Bentuk komunikasi dua arah yang terjalin secara efektif
dipercaya dapat membebaskan karyawan untuk menyampaikan keinginan, kebutuhan
serta keluhan. Dan komunikasi dua arah pun dapat menjadi saluran yang tepat
bagi perusahaan untuk menyampaikan visi, misi dan beberapa kebijakan. Dengan
cara ini maka kebutuhan karyawan dan kebutuhan manajemen akan menemukan titik
terang demi efesiensi dan pencapaian tujuan organisasi.
Komunikasi Internal :
Media Pembinaan Hubungan Baik dengan Karyawan
Seperti yang
sudah saya jelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa industrial peace dapat dicapai dengan pembinaan hubungan baik
antara pimpinan dengan karyawan, yaitu
dengan pemberlakuan manajemen terbuka. Komunikasi internal perusahaan dapat dibagi
menjadi dua, yaitu komunikasi dari manajemen kepada karyawan dan komunikasi
karyawan kepada manajemen.
Komunikasi
internal bentuk pertama dapat berupa pidato, sistem informasi melalui sms
ataupun internet, rapat manajemen-karyawan, program televisi internal, majalah
karyawan, papan pengumuman dan berbagai bentuk lainnya. Masing-masing tentu
memiliki kelebihan dan kekurangan. Bentuk komunikasi lisan –pidato, rapat-
lebih efektif untuk menyampaikan informasi yang cepat basi dan komunikasi cetak
untuk menyampaikan informasi yang lebih komplek dan padat –seperti penyebaran
budaya organisasi-.
Komunikasi dari
karyawan kepada manajemen dapat berupa penelitian sikap karyawan, keluhan
karyawan, partisipasi karyawan dalam acara-acara perusahaan ataupun percakapan
informal dengan pengawas/pimpinan. Suatu kebijaksanaan manajemen terbuka
memberi kesempatan kepada karyawan untuk
membicarakan kebijaksanaan dan
pelaksanaan perusahaan dengan manajemen. Keinginan dari sebagian
pengawas/pimpinan untuk mendengarkan karyawan akan meningkatkan komunikasi dan
pengertian.
Bentuk
komunikasi yang dijalankan tentunya akan beragama pada setiap organisasi. Hal
ini bergantung pada budaya organisasi tersebut. Bagi organisasi yang biasa
menjalankan kegiatan operasionalnya dengan manajemen tertutup tentu harus
merubah secara radikal budaya tersebut. Dan perubahan ini tentu bukanlah suatu
hal yang mudah dilakukan.
Budaya
organisasi merupakan hal yang membedakan antara suatu organisasi dengan
organisasi lainnya. Budaya organisasi mendefinisikan nilai dan norma yang dipakai oleh pembuat keputusan di dalam organiasi. Pandangan dan
budaya organisasi mendefinisikan rentang tanggapan yang tersedia dalam situasi
isu tertentu. meskipun seringkali tidak dibicarakan, budaya organisasi sangat
mempengaruhi bagaimana perilaku didefinisikan dalam organisasi.
Daftar Pustaka
Moore, Frazier.
2005. Humas : Membangun Citra dengan
Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Ruslan, Rosady.
2006. Manajemen Public Relations dan
Media Komunikasi : Konsep dan Aplikasi. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Cutlip, Center
dan Broom. 2009. Effective Public
Relations. Jakarta : Prenada Media Grup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar