Halaman

Kamis, 15 Desember 2011

Krisis Public Relations (Chapter 2)


Ternyata krisis tidak hanya berlangsung seketika. Krisis juga dapat terjadi secara perlahan-lahan. Berdasarkan waktu terjadinya krisis, Seymour dan Moore (dalam Tench dan Yeomans, 2006) memberikan metapora yang unik, yaitu Cobra Crises (krisis kobra) dan Phyton Crises (krisis piton). Ular kobra merupakan binatang yang sangat mematikan. Bisa yang dihasilkan mampu membunuh siapa saja dalam hitungan detik. Dan itulah yang dimaksud dengan krisis kobra. Krisis yang datang tidak terduga dan membuat panik perusahaan. Berbeda dengan krisis piton, krisis ini datang secara perlahan-lahan. Seperti layaknya ulat piton yang dengan sabar melilit mangsanya. Bahkan lilitan ulat piton ini – perlahan tapi pasti- mampu meremukkan tulang rusuk manusia. Fenomena berkembangnya dunia teknologi informasi setidaknya memberikan dampak bagi perusahaan. Teknologi informasi yang menjanjikan kemudahan dapat menjadi krisis bagi perusahaan yang tidak mampu beradaptasi. Dan hasilnya dapat kita  lihat pada perusahaan-perusahaan yang mengadopsi pelayanan berbasis IT seperti perbankan misalnya.
Krisis yang melanda sebuah perusahaan dapat ditangani melalui beberapa upaya terintegrasi yang disebut manajemen krisis. Baines, Egan dan Jefkins (2004) mendefinisikan manajemen krisis sebagai perencanaan untuk menghadapi berbagai situasi yang tidak dapat diperkirakan kedatangannya. Memang benar, seperti yang sudah saya kemukakan sebelumnya bahwa salah satu sifat krisis adalah unpredictable. Namun, bukan suatu hal yang tidak mungkin bahwa perencanaan dapat dilakukan pada sesuatu yang sulit diperkirakan kapan munculnya.
Hal ini pun senada dengan Tench dan Yeomans (2006) yang menekankan kunci keberhasilan manajemen krisis adalah ketersiapan (preparedness). Persiapan krisis dapat dilakukan dengan mengidentifikasi beberapa perkara yang dapat menimbulkan krisis. Misalnya saja isu kesejahteraan yang sedang melanda di beberapa kawasan di Jawa Barat. Beberapa waktu lalu rombongan buruh mendatangi kantor Bupati Cimahi meminta kenaikan UMK (Upah Minimum Kota). Perusahaan mestinya melakukan persiapan untuk mengantisipasi kenaikan UMK tersebut. Komunikasi yang intensif dan berkesinambungan dapat meningkatkan kewaspadaan perusahaan pada isu kesejahteraan tersebut.
 Krisis dapat terjadi dalam beberapa fase. Kasali (1994) membagi krisis ke dalam empat fase, yaitu (1) Tahap Prodormal, (2) Tahap Akut, (3) Tahap Kronik dan (4) Tahap Resolusi. Tahap prodromal seringkali diabaikan oleh perusahaan. Padahal pada tahap ini beberapa indikasi kemunculan krisis sudah nyata. Oleh karena itu tahap ini juga sering disebut sebagai warning stage. Namun, jika manajemen tidak peka terhadap sinyal-sinyal kemunculan krisis, maka tahap ini juga akan menjadi turning point dan krisis akan bergeser ke tahap yang lebih serius, tahap akut. Para pakar krisis umumnya sependapat bahwa sekalipun krisis pada tahap ini sangat ringan, pemecahan dini secara tuntas sangat penting.
Tahap akut merupakan tahap terjadinya krisis. Pada kasus Freeport, tahap ini ditandai dengan dimulainya demonstrasi karyawan untuk menuntut kenaikan upah. Salah satu kesulitan besar dalam menghadapi krisis  pada tahap ini adalah intensitas dan kecepatan serangan yang datang dari berbagai pihak. Kecepatan ditentukan oleh jenis krisis yang menimpa perusahaan, sedangkan intensitas ditentukan oleh kompleksnya permasalahan.
Tahap selanjutnya, tahap kronis, yang seringkali disebut sebagai clean up phase atau the post mortem. Pada tahap ini perusahaan mulai beradaptasi terhadap krisis. Misalnya saja perubahan structural, penggantian pemilik, suntikan modal baru ataupun kenaikan upah karyawan. Pada tahap ini media massa mulai jenuh memberitakan kondisi perusahaan.
Tahap Resolusi merupakan tahap penyembuhan. Meski bencana besar telah berlalu, seorang manajer krisis tetap perlu berhati-hati. Tahap ini tidak berarti krisis sudah berakhir sepenuhnya. Krisis umumnya berbentuk seperti siklus yang akan membawa kembali pada keadaan semula.
Lain lagi Fearn-Banks (dalam Tench dan Yeomans, 2006) yang membagi krisis ke dalam lima tahap (Five stages of a crisis), yaitu (1) Deteksi (detection), (2) Persiapan/pencegahan (preparation/prevention), (3) Pertahanan/adaptasi (containment), (4) Pemulihan (recovery) dan (5) Pembelajaran (learning). Pada tahap pertama seorang manajer krisis memantau beberapa indikasi yang dapat menimbulkan krisis. Langkah yang dilakukan dengan cara memantau isu yang berkembang diantara publik perusahaan. Misalnya saja isu kesejahteraan di antara karyawan, kenaikan tariff dasar listrik yang akan dilakukan pemerintah, ataupun beberapa keluhan pelanggan.
Tahap persiapan merupakan tahap perencanaan penanganan krisis. Manajer krisis membuat satu kebijakan untuk menghadapi krisis. Seperti menunjuk seorang juru bicara, membentuk tim khusus untuk menangani sumber pemberitaan media ataupun membuat sebuah buku pedoman menangani krisis. Tahap selanjutnya, containment, menandakan krisis sedang berlangsung. Pada tahap ini perusahaan mengimplementasikan berbagai perencanaan yang telah dilakukan. Melakukan product recall, konferensi pers, berunding dengan karyawan yang demonstrasi ataupun langkah lainnya. Tahap pemulihan ditandai dengan kembalinya perusahaan pada aktivitas normal mereka. Penjualan sudah mulai membaik, karyawan yang semula mogok pun sudah kembali bekerja. Lalu selanjutnya krisis yang sudah terjadi sebaiknya dilakukan evaluasi serta pembelajaran. Tahap pembelajaran mengharuskan perusahaan mengambil pelajaran dari krisis yang sudah dilalui. Pembelajaran dilakukan agar perusahaan siap apabila krisis yang sama terjadi kembali.

Selasa, 06 Desember 2011

PHK : Antara Realita dan Undang-undang (Chapter 2)


PHK: Tinjauan Undang-Undang
Kasus PHK memang seringkali menghiasi hubungan industrial antara manajemen dengan karyawan. Namun, PHK tidak dibenarkan untuk sering dilakukan oleh perusahaan. PHK bersifat ‘makruh’, artinya boleh saja dilakukan tapi tidak dianjurkan. Melalui Undang-undang nomor 13 tahun 2003, pemerintah telah melindungi hak-hak pekerja termasuk Pemutusan Hubungan Kerja.
Bab 12 undang-undang ini dikhususkan berbicara mengenai pemutusan hubungan kerja. Aturan main sudah dijelaskan secara rinci pada bab ini. Misalnya ruang lingkup PHK, yaitu pada badan usaha yang berbadan hukum atau tidak (pasal 150). Dijelaskan lebih rinci lagi kepemilikan badan hukum tersebut serta terdapat ketentuan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah dan imbalan dalam bentuk lain. Itu artinya PHK berlaku pada ikatan kerjasama antara majikan dengan karyawan. Ikatan kerjasama antara majikan dengan karyawan tergambar jelas pada kata membayar upah dan mempekerjakan.
Namun, PHK sangat tidak dianjurkan. Pasal 151 menerangkan dengan jelas bahwa pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat/buruh, buruh dan pemerintah dengan segala upaya mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. Benar-benar rangkaian kata yang manis untuk melindungi kelangsungan hidup para pekerja. Di negara yang angka pengangguran cukup tinggi –seperti Indonesia- PHK memang menjadi hal yang sangat menakutkan. Misalnya saja pada krisis moneter yang melanda Indonesia. Beberapa perusahaan harus merumahkan sebagian besar karyawannya lantaran ketidakmampuan bertahanan hidup di nuansa krisis.
Namun, apakah benar upaya pencegahan PHK telah terwujud dalam kehidupan nyata? Majikan, karyawan dan pemerintah merupakan ‘tiga serangkai’ yang terlibat dalam lingkup ketenagakerjaan ini. Karyawan tidak memiliki peran yang cukup besar dalam realisasi pasal ini. Karena PHK merupakan kuasa perusahaan serta pengawasan pemerintah.
Pasal 153-155 dengan sangat jelas memberi batasan mengenai PHK. Namun, aksi Freeport memecat Sudiro karena telah memprakarsai aksi mogok karyawan tidak bisa diterima begitu saja. Upaya Sudiro memperjuangkan kesejahteraan karyawan Freeport jelas tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan yang disebut dalam pasal 158. Sudiro justru sedang melakukan aktivitas serikat pekerja.
Kasus Sudiro ini seharusnya diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial atau Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi seperti yang ditempuh karyawan Bakrie Life. Kedua lembaga ini memang sudah seharusnya memposisikan diri mereka sebagai mediator pada kasus-kasus hubungan industrial. Tapi tidak terjadi pada kasus Sudiro.
Sudiro dipecat secara sepihak oleh perusahaan. Aktivitas Sudiro dianggap memprovokasi karyawan lain untuk menuntut kesejahteraan. Dan memang aksi Sudiro ini cukup berhasil. Sudiro telah berhasil membangunkan naga tidur. Semua karyawan Freeport (non-staff) pada akhirnya mogok kerja menuntut kenaikan upah. Dan sampai saat ini aksi masalah upah ini belum mencapai titik temu.
Namun, pemecatan sepihak ini memang telah mencoreng hubungan industrial di Indonesia. Sudiro tidak melakukan satu hal pun yang tercatat pada pasal 158 ayat 1. Dan ini tidak semestinya terjadi di negara hukum seperti Indonesia.
Berbeda dengan kasus Mandala yang terpaksa mem-PHK sebagian besar karyawan karena masalah keuangan. Hal ini memang lumrah dan merupakan jalan terbaik bagi kedua belah pihak. Pasal 164 ayat 1 menerangkan bahwa perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja karena perusahaan mengalami kerugian. Dan memang itulah yang terjadi pada Mandala, pemutusan hubungan kerja damai.
Kasus Bakrie Life merupakan kasus yang harusnya dijadikan para legislatif untuk membahas ulang undang-undang ketenagakerjaan. Pasal 156 ayat 1 sampai 5 membahas secara rinci perhitungan upah dan penghargaan masa kerja yang harus dibayarkan kepada karyawan. Tapi tidak ada satu ayatpun yang menegaskan bahwa pesangon harus dibayar tunai. Kata diwajibkan membayar pada ayat 1 tidak menerangkan bahwa pesangon harus dibayar tunai. Membayar bisa menjadi ambigu mengingat ragam alat pembayaran yang biasa dilakukan oleh kita. Alat pembayaran yang berlaku di masyarakat ada beragam;  uang, cek, giro, transfer dan lain-lain.
Pengadilan hubungan industrial menyalahkan Bakrie Life dengan dalil surat hutang hanya berlaku bagi hubungan perusahaan dengan investor. Pengadilan hubungan industrial tidak menyalahkan Bakrie Life sepenuhnya karena tidak ada satupun ayat yang dilanggar. Oleh karena itu, kasus Bakrie Life sebaiknya dijadikan acuan untuk mengulas undang-undang ini.
Ketiga kasus yang saya bawa hanyalah segelintir dari sekian banyak kasus PHK ataupun hubungan industrial lain yang terjadi di Indonesia. Gresik merupakan salah satu kota dengan kasus PHK yang cukup tinggi, 110 kasus terjadi tiap tahun[1]. Berdasarkan data Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Gresik angka kasus PHK perorangan mencapai angka 90 hingga 110 per tahun mulai tahun 2008.
Peran Public Relations
Public relations dalam perusahaan memegang peran yang cukup vital dalam pembentukan hubungan industrial harmonis. Karyawan merupakan salah satu publik dalam kegiatan public relations. Dan public relations bertanggung jawab atas segala komunikasi yang terjalin antara perusahaan (manajemen) dengan karyawan.
Moore (2005) menyatakan bahwa landasan bagi hubungan karyawan yang baik adalah sebagai berikut:
1)      Memberikan pekerjaan yang teratur,
2)      Kondisi pekerjaan yang baik,
3)      Upah memadai,
4)      Kesempatan memperoleh kemajuan,
5)      Penghargaan terhadap prestasi,
6)      Pengawasan yang baik,
7)      Kesempatan mengemukakan pendapat.
Landasan-landasan tersebut dapat ditempuh dengan sistem manajemen terbuka (open management). Dengan sistem manajemen terbuka, arus lalu lintas komunikasi antara karyawan dengan pimpinan akan lebih padat dan lancar. Pihak pimpinan tidak boleh lagi memandang karyawan sebagai mesin/robot yang hanya cukup dengan perintah, tapi juga harus diperlakukan sebagai manusia yang memiliki kehendak, kepuasan kerja, keluhan dan lain-lain.
Ruslan (2006) menyatakan bahwa hubungan kepegawaian (employee relations) tidak dilihat dalam pengertian yang sempit, yaitu sama dengan hubungan industrial yang hanya menekankan pada proses “produksi” dan upah. Hubungan tersebut lebih dipengaruhi oleh hubungan komunikasi internal antara karyawan dengan karyawan, dan hubungan antara karyawan dengan manajemen.
Dengan diberlakukannya manajemen terbuka, produktivitas perusahaan akan meningkat –secara kualitas ataupun kuantitas. Pencapaian produktivitas itu bukan hanya merupakan hasil kerja keras dari pihak pekerjanya, tetapi juga berkaitan dengan hasil motivasi dan prestasi para pekerja yang bersedia dengan penuh semangat, memiliki kebanggaan, berdisiplin tinggi serta mampu mencapai pencapaian kerja yang efektif dan efisien.
Menurut Alvie Smith (dalam Cutlip, Center dan Broom : 2009) ada dua faktor yang mempengaruhi komunikasi internal dengan karyawan dan menambah rasa hormat manajemen terhadap salah satu fungsi humas:
1)      Manfaat dari pemahaman, teamwork, dan komitmen karyawan dalam mencapai hasil yang diinginkan. Aspek positif perilaku karyawan ini sangat dipengaruhi oleh komunikasi internal yang efektif di seluruh organisasi.
2)      Kebutuhan untuk membangun jaringan komunikasi manajer yang kuat, yang membuat setiap supervisor di semua level dapat melakukan komunikasi secara efektif dengan karyawannya. Kebutuhan ini lebih dari sekadar menciptakan informasi yang berhubungan dengan pekerjaan tetapi juga harus memuat informasi bisnis dan isu publik yang mempengaruhi organisasi secara keseluruhan.
Bentuk komunikasi dua arah yang terjalin secara efektif dipercaya dapat membebaskan karyawan untuk menyampaikan keinginan, kebutuhan serta keluhan. Dan komunikasi dua arah pun dapat menjadi saluran yang tepat bagi perusahaan untuk menyampaikan visi, misi dan beberapa kebijakan. Dengan cara ini maka kebutuhan karyawan dan kebutuhan manajemen akan menemukan titik terang demi efesiensi dan pencapaian tujuan organisasi.

Komunikasi Internal : Media Pembinaan Hubungan Baik dengan Karyawan
Seperti yang sudah saya jelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa industrial peace dapat dicapai dengan pembinaan hubungan baik antara pimpinan dengan karyawan,  yaitu dengan pemberlakuan manajemen terbuka. Komunikasi internal perusahaan dapat dibagi menjadi dua, yaitu komunikasi dari manajemen kepada karyawan dan komunikasi karyawan kepada manajemen.
Komunikasi internal bentuk pertama dapat berupa pidato, sistem informasi melalui sms ataupun internet, rapat manajemen-karyawan, program televisi internal, majalah karyawan, papan pengumuman dan berbagai bentuk lainnya. Masing-masing tentu memiliki kelebihan dan kekurangan. Bentuk komunikasi lisan –pidato, rapat- lebih efektif untuk menyampaikan informasi yang cepat basi dan komunikasi cetak untuk menyampaikan informasi yang lebih komplek dan padat –seperti penyebaran budaya organisasi-.
Komunikasi dari karyawan kepada manajemen dapat berupa penelitian sikap karyawan, keluhan karyawan, partisipasi karyawan dalam acara-acara perusahaan ataupun percakapan informal dengan pengawas/pimpinan. Suatu kebijaksanaan manajemen terbuka memberi kesempatan kepada karyawan  untuk membicarakan kebijaksanaan  dan pelaksanaan perusahaan dengan manajemen. Keinginan dari sebagian pengawas/pimpinan untuk mendengarkan karyawan akan meningkatkan komunikasi dan pengertian.
Bentuk komunikasi yang dijalankan tentunya akan beragama pada setiap organisasi. Hal ini bergantung pada budaya organisasi tersebut. Bagi organisasi yang biasa menjalankan kegiatan operasionalnya dengan manajemen tertutup tentu harus merubah secara radikal budaya tersebut. Dan perubahan ini tentu bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan.
Budaya organisasi merupakan hal yang membedakan antara suatu organisasi dengan organisasi lainnya. Budaya organisasi mendefinisikan nilai dan norma  yang dipakai oleh pembuat  keputusan di dalam organiasi. Pandangan dan budaya organisasi mendefinisikan rentang tanggapan yang tersedia dalam situasi isu tertentu. meskipun seringkali tidak dibicarakan, budaya organisasi sangat mempengaruhi bagaimana perilaku didefinisikan dalam organisasi.
  



Daftar Pustaka
Moore, Frazier. 2005. Humas : Membangun Citra dengan Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Ruslan, Rosady. 2006. Manajemen Public Relations dan Media Komunikasi : Konsep dan Aplikasi. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Cutlip, Center dan Broom. 2009. Effective Public Relations. Jakarta : Prenada Media Grup.


[1] http://surabaya.tribunnews.com/m/index.php/2011/10/16/110-kasus-phk-setiap-tahun-di-gresik

PHK : Antara Realita dan Undang-undang (Chapter 1)


Pemecatan Sudiro dan Kasus PHK Lainnya
Sudiro, merupakan salah satu penggerak demonstrasi karyawan PT. Freeport Indonesia (Freeport) yang akhirnya di PHK. Tanpa alasan yang jelas, tiba-tiba saja manajemen Freeport memecat Sudiro. Aksi ini pun telah menyisakan pertanyaan yang sampai sekarang belum terjawab. Apakah Sudiro dipecat lantaran memprakarsai gerakan demonstrasi karyawan Freeport?
Sudiro yang sejak awal terus-menerus mempertanyakan peningkatan kesejahteraan kepada pihak manajemen telah menjadi pahlawan tanpa tanda jasa bagi karyawan Freeport lainnya. Empat Juli 2011 merupakan tonggak perjuangan karyawan Freeport (non-staff) dalam memperjuangkan hak kesejahteraan mereka –sekaligus memperjuangkan nasib Sudiro-.
Kasus Sudiro ini bukanlah satu-satunya kasus PHK yang terjadi di tahun 2011. Tiga belas Januari 2011, maskapai penerbangan Mandala menghentikan operasinya karena lilitan utang. Maskapai ini terlilit utang mencapai Rp. 2,45 triliun kepada kreditur konkruen yang jumlahnya ratusan dan utang ke kreditur separatis, Bank Victoria sejumlah Rp. 54,14 Miliar[1].
Lilitan utang ini memaksa PT. Mandala Airlines untuk “merumahkan” sejumlah karyawannya. Tentu saja pemecatan ini masih bisa diterima oleh karyawan lantaran alasan Mandala memecat ratusan karyawan adalah ketidakmampuan secara finansial.
Namun, ternyata permasalahan Mandala tidak berhenti begitu saja. Kerelaan karyawan untuk dirumahkan ternyata tidak membuat Mandala lepas dari masalah. Masalah terbesar justru datang dari konsumen. Konsumen yang sudah terlanjur membeli tiket Mandala meminta ganti rugi melalui refund.
Dan inilah yang membuat manajemen Mandala pusing tujuh keliling. Selain memikirkan bagaimana caranya untuk membayar hutang, Mandala juga harus memikirkan proses refund kepada konsumen. Alhasil, manajemen Mandala meminta waktu 45 hari –sejak penghentian operasional- untuk mengembalikan uang tiket konsumen.
Kasus PHK PT. Asuransi Jiwa Bakrie (Bakrie Life) lebih menarik lagi. Mei 2011 perusahaan ini terpaksa mem-PHK 80 karyawan lantaran ketidakmampuan finansial. Perusahaan ini tidak mampu membayar produk asuransi berbasis investasi dengan nama Diamond Investa sebesar Rp. 360 Milliar. Sesuai SKB, manajemen Bakrie Life menawarkan skema pengembalian dana pokok sebesar 25% di 2010, 25% di 2011 dan sisanya 50% di 2012. Karena ini perusahaan tidak lagi memiliki uang tunai.
Dan 80 karyawan tersebut terkena cipratan kesialan Bakrie Life, mereka harus menerima pesangon berupa surat hutang[2]. Manajemen berjanji akan membayarkan surat hutang itu dengan uang tunai jika telah memiliki dana tunai. Merasa diperlakukan tidak adil, karyawan Bakrie Life mengajukan kasus ini ke Pengadilan Hubungan Industrial. Jalan ini pun ditempuh setelah serikat pekerja  mengirimkan surat beberapa kali kepada pihak manajemen, namun tidak ada tanggapan sedikitpun. Akibat kasus ini, Bakrie Life terancam dicabut izin usaha oleh Bapepam-LK.

PHK: Tinjauan Undang-Undang
Kasus PHK memang seringkali menghiasi hubungan industrial antara manajemen dengan karyawan. Namun, PHK tidak dibenarkan untuk sering dilakukan oleh perusahaan. PHK bersifat ‘makruh’, artinya boleh saja dilakukan tapi tidak dianjurkan. Melalui Undang-undang nomor 13 tahun 2003, pemerintah telah melindungi hak-hak pekerja termasuk Pemutusan Hubungan Kerja.
Bab 12 undang-undang ini dikhususkan berbicara mengenai pemutusan hubungan kerja. Aturan main sudah dijelaskan secara rinci pada bab ini. Misalnya ruang lingkup PHK, yaitu pada badan usaha yang berbadan hukum atau tidak (pasal 150). Dijelaskan lebih rinci lagi kepemilikan badan hukum tersebut serta terdapat ketentuan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah dan imbalan dalam bentuk lain. Itu artinya PHK berlaku pada ikatan kerjasama antara majikan dengan karyawan. Ikatan kerjasama antara majikan dengan karyawan tergambar jelas pada kata membayar upah dan mempekerjakan.
Namun, PHK sangat tidak dianjurkan. Pasal 151 menerangkan dengan jelas bahwa pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat/buruh, buruh dan pemerintah dengan segala upaya mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. Benar-benar rangkaian kata yang manis untuk melindungi kelangsungan hidup para pekerja. Di negara yang angka pengangguran cukup tinggi –seperti Indonesia- PHK memang menjadi hal yang sangat menakutkan. Misalnya saja pada krisis moneter yang melanda Indonesia. Beberapa perusahaan harus merumahkan sebagian besar karyawannya lantaran ketidakmampuan bertahanan hidup di nuansa krisis.
Namun, apakah benar upaya pencegahan PHK telah terwujud dalam kehidupan nyata? Majikan, karyawan dan pemerintah merupakan ‘tiga serangkai’ yang terlibat dalam lingkup ketenagakerjaan ini. Karyawan tidak memiliki peran yang cukup besar dalam realisasi pasal ini. Karena PHK merupakan kuasa perusahaan serta pengawasan pemerintah.
Pasal 153-155 dengan sangat jelas memberi batasan mengenai PHK. Namun, aksi Freeport memecat Sudiro karena telah memprakarsai aksi mogok karyawan tidak bisa diterima begitu saja. Upaya Sudiro memperjuangkan kesejahteraan karyawan Freeport jelas tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan yang disebut dalam pasal 158. Sudiro justru sedang melakukan aktivitas serikat pekerja.
Kasus Sudiro ini seharusnya diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial atau Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi seperti yang ditempuh karyawan Bakrie Life. Kedua lembaga ini memang sudah seharusnya memposisikan diri mereka sebagai mediator pada kasus-kasus hubungan industrial. Tapi tidak terjadi pada kasus Sudiro.
Sudiro dipecat secara sepihak oleh perusahaan. Aktivitas Sudiro dianggap memprovokasi karyawan lain untuk menuntut kesejahteraan. Dan memang aksi Sudiro ini cukup berhasil. Sudiro telah berhasil membangunkan naga tidur. Semua karyawan Freeport (non-staff) pada akhirnya mogok kerja menuntut kenaikan upah. Dan sampai saat ini aksi masalah upah ini belum mencapai titik temu.
Namun, pemecatan sepihak ini memang telah mencoreng hubungan industrial di Indonesia. Sudiro tidak melakukan satu hal pun yang tercatat pada pasal 158 ayat 1. Dan ini tidak semestinya terjadi di negara hukum seperti Indonesia.
Berbeda dengan kasus Mandala yang terpaksa mem-PHK sebagian besar karyawan karena masalah keuangan. Hal ini memang lumrah dan merupakan jalan terbaik bagi kedua belah pihak. Pasal 164 ayat 1 menerangkan bahwa perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja karena perusahaan mengalami kerugian. Dan memang itulah yang terjadi pada Mandala, pemutusan hubungan kerja damai.
Kasus Bakrie Life merupakan kasus yang harusnya dijadikan para legislatif untuk membahas ulang undang-undang ketenagakerjaan. Pasal 156 ayat 1 sampai 5 membahas secara rinci perhitungan upah dan penghargaan masa kerja yang harus dibayarkan kepada karyawan. Tapi tidak ada satu ayatpun yang menegaskan bahwa pesangon harus dibayar tunai. Kata diwajibkan membayar pada ayat 1 tidak menerangkan bahwa pesangon harus dibayar tunai. Membayar bisa menjadi ambigu mengingat ragam alat pembayaran yang biasa dilakukan oleh kita. Alat pembayaran yang berlaku di masyarakat ada beragam;  uang, cek, giro, transfer dan lain-lain.
Pengadilan hubungan industrial menyalahkan Bakrie Life dengan dalil surat hutang hanya berlaku bagi hubungan perusahaan dengan investor. Pengadilan hubungan industrial tidak menyalahkan Bakrie Life sepenuhnya karena tidak ada satupun ayat yang dilanggar. Oleh karena itu, kasus Bakrie Life sebaiknya dijadikan acuan untuk mengulas undang-undang ini.
Ketiga kasus yang saya bawa hanyalah segelintir dari sekian banyak kasus PHK ataupun hubungan industrial lain yang terjadi di Indonesia. Gresik merupakan salah satu kota dengan kasus PHK yang cukup tinggi, 110 kasus terjadi tiap tahun[3]. Berdasarkan data Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Gresik angka kasus PHK perorangan mencapai angka 90 hingga 110 per tahun mulai tahun 2008.


[1] http://m.detik.com/read/2011/04/10/182158/1612880/kasus-phk-karyawan-mandala-buat-konsumen-makin-pesimis
[2] http://m.detik.com/read/2011/05/19/121451//1642374/5/bayar-pesangon-pakai-surat-utang
[3] http://surabaya.tribunnews.com/m/index.php/2011/10/16/110-kasus-phk-setiap-tahun-di-gresik

Krisis Public Relations


Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan krisis sebagai keadaan yang berbahaya; parah sekali, keadaan yang genting serta keadaan suram. Kata krisis memang identik dengan sesuatu yang tidak menyenangkan. Krisis moneter telah menyebabkan negeri ini mengalami kebangkrutan. Pemutusan hubungan kerja terjadi dimana-mana, perusahaan-perusahaan besar yang diharapkan mampu menjadi tumpuan ekonomi ternyata malah banyak yang bangkrut. Tapi krisis ini justru menjadi pemicu munculnya ‘Indonesia Baru’. Masyarakat menjadi tergerak untuk melepaskan keresahan mereka akan ketidakpuasan rezim Orde Baru.
Krisis ekonomi global, krisis perbankan, krisis moral ataupun krisis lainnya memang menyiratkan sesuatu yang buruk dan tidak direncanakan. Krisis juga seringkali melanda perusahaan –besar ataupun kecil-. Misalnya saja kasus Tylenol yang menimpa Johnson & Johnson pada tahun 1982. Lusinan kapsul terkontaminasi zat sianida. Tujuh orang yang meminum kapsul tewas segera (Putra dalam Ardianto, 2011). Sebagai produsen, Johnson & Johnson langsung menarik kembali obat tersebut dengan biaya mencapai lebih dari 100 juta dolar.
Apa sebenarnya krisis jika dipandang dalam konteks public relations? Fearns-Banks  menyatakan bahwa krisis adalah situasi atau kejadian besar dengan dampak negatif yang secara potensial mempengaruhi sebuah organisasi atau industri, termasuk publik, produk, jasa atau nama baik (dalam Ardianto, 2011). Definisi ini menekankan bahwa krisis memiliki kecenderungan berdampak negatif pada perusahaan. Biaya penarikan produk sebesar 100 juta dolar oleh Johnson & Johnson serta penurunan nama baik tentu dampak negatif dari krisi Tylenol.
Holsti mendefinisikan krisis sebagai situasi-situasi yang ditandai dengan keterkejutan dan mengancam nilai-nilai penting, serta membuat keputusan dalam waktu singkat (dalam Ardianto, 2011). Kemunculan memang sulit diprediksi dan selalu membuat kejutan. Serta penanganan krisis memang membutuhkan waktu yang singkat. Krisis tidak dapat dibiarkan berlarut-larut karena berdampak negatif pada perusahaan. Tell it all and Tell it fast merupakan kunci penanganan krisis yang baik (Seitel dalam Ardianto, 2011).
White dan Mazur (dalam Baines, Egan dan Jefkins, 2004) mendefinisikan krisis kedalam tiga karakteristik, yaitu (1) Mengancam kelangsungan hidup, keselamatan dan keberadaan organisasi/perusahaan, (2) Para pengambil kebijakan harus bergerak cepat untuk menyelesaikan krisis, (3) Tekanan (stress) dirasakan oleh pihak yang diberi tanggung jawab menyelesaikan krisis. Dampak negatif, waktu penyelesaian cepat dan tekanan merupakan ciri khas krisis yang dapat terjadi pada perusahaan. Februari 2011 Toyota terpaksa harus me-recall sebanyak 2,17 juta kendaraan lantaran masalah pada pedal gas. Kebijakan ini diambil setelah mendapat laporan beberapa kecelakaan pada kendaraan Toyota yang diakibatkan oleh macetnya pedal gas. Proses recall ini memang merupakan kebijakan yang tepat sebelum terjadi dampak yang lebih besar lagi.
Lerbinger (dalam Tench dan Yeomans, 2006) mengkategorikan krisis berdasarkan dua faktor penyebab, yaitu kegagalan manajerial serta tekanan lingkungan. Kedelapan kategori tersebut adalah (1) Alam, misalnya saja kasus tsunami Jepang yang menyebabkan pabrik Honda dan Nissan merugi besar. (2) Teknologi, product recall pada Toyota merupakan salah satu kegagalan teknologi yang menyebabkan krisis, (3) Konfrontasi, kasus boikot oleh konsumen karena Shell Oil ingin menenggelamkan kilang minyak di Brent Spar, (4) Tekanan dari luar. Tekanan ini biasanya berasal dari pihak yang dikecewakan oleh perusahaan atau komunitas yang tidak setuju dengan aksi perusahaan, (5) Ketidakseimbangan nilai pada manajemen, misalnya kasus Barings Bank yang bangkrut lantaran dana nasabah dipergunakan tidak semestinya oleh manajemen, (6) Penipuan, bisa dilakukan oleh manajemen ataupun oleh pihak luar. Misalnya saja manajemen nakal yang mencantumkan pajak penghasilan karyawan lebih besar dari nilai yang ditentukan oleh pemerintah, (7) Kenakalan manajemen, kasus kenakalan manajemen Enron merupakan kasus nyata yang cukup merisaukan perusahaan dank klien mereka, dan (8) Ekonomi dan bisnis, kemunculan industri IT ternyata telah mempengaruhi gaya manajemen ataupun pelayanan perusahaan-perusahaan di dunia.

Jumat, 21 Oktober 2011

UU Ketenagakerjaan: Misi Bunuh Diri


Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 ini menjelaskan aturan main ketenagakerjaan di Indonesia. Struktur anatomi undang-undang ini terdiri dari 18 bab dan 192 pasal dengan rincian sebagai berikut:
1)      Bab I tentang Ketentuan Umum
2)      Bab II tentang Landasan, asas dan tujuan
3)      Bab III tentang Kesempatan dan perlakuan yang sama
4)      Bab IV tentang Perencanaan dan informasi ketenagakerjaan
5)      Bab V tentang Pelatihan kerja
6)      Bab VI tentang Penempatan tenaga kerja
7)      Bab VII tentang Perluasan kesempatan kerja
8)      Bab VIII tentang Penggunaan tenaga kerja asing
9)      Bab IX tentang Hubungan kerja
10)  Bab X tentang  Perlindungan , pengupahan dan kesejahteraan
11)  Bab XI tentang Hubungan industrial
12)  Bab XII tentang Pemutusan Hubungan Kerja
13)  Bab XIII tentang Pembinaan
14)  Bab XIV tentang Pengawasan
15)  Bab XV tentang Penyidikan
16)  Bab XVI tentang Ketentuan umum dan sanksi administratif
17)  Bab XVII tentang Ketentuan peralihan dan
18)  Bab XVIII tentang Ketentuan Penutup
Undang-undang ini menjelaskan hak dan kewajiban dari masing-masing komponen yang terlibat dalam hubungan industrial, yaitu pemerintah (selaku regulator), pengusaha / perusahaan (selaku penyedia lapangan kerja) dan masyarakat pekerja.

Peran pemerintah antara lain tercermin dari bab 3 sampai bab 8, yaitu pemerintah bertanggung jawab atas kesempatan dan perlakuan yang sama, perencanaan dan informasi ketenagakerjaan, pelatihan kerja, penempatan tenaga kerja, perluasan kesempatan kerja dan penggunaa tenaga kerja asing. Peran pertama ini menitikberatkan peran pemerintah selaku penjamin kesempatan dan perlakuan yang sama dalam hubungan kerja. Pemerintah ditekankan untuk menjadi pengawas bagi para penyedia lapangan kerja. Bentuk pengawasan dapat dilakukan dengan membuat peraturan pemerintah ataupun pengawasan langsung ke pengusaha atau perusahaan.
Peran selanjutnya yang dipegang oleh pemerintah adalah sebagai perencana dan penydia informasi ketenagakerjaan. Disini pemerintah diharapkan dapat menjadi penggagas ide mengenai pemetaan/distribusi tenaga kerja. Saya rasa pemerintah saat ini, kurang mampu memegang peran seperti ini. Menurut pengamatan saya, kementrian tenaga kerja dan transmigrasi –sebagai pemegang mandat ini- beserta kementerian lainnya masih kebingungan dengan tugas dan fungsi sebagai perencana pembangunan.
Pemerintah –baik daerah ataupun pusat- memiliki blueprint akan perencanaan tenaga kerja. Dan, urbanisasi secara besar-besaran merupakan salah satu bentuk kegagalan yang nyata. Pemerintah -terutama di daerah- tidak mampu menyediakan lapangan kerja. Pasal 7 Undang-undang ini menegaskan bahwa pemerintah menetapkan kebijakan dan menyusun perencanaan tenaga kerja. Namun, dari pengamatan kasat mata saja sudah dapat kita saksikan berapa juta orang di pedesaan ataupun kota kecil yang mengeluh kurang tersedianya lapangan kerja bagi mereka. Pertanian, peternakan ataupun kelautan mestinya menjadi ladang pencetak uang yang ideal bagi mereka.
Namun, pada kenyataannya sektor ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah daerah. Misalnya saja pada kenyataan yang terjadi di daerah pantura seperti Indramyu, Cirebon, Tegal dan Brebes. Empat kota ini merupakan kota yang terletak di pesisir pantai utara. Dan mestinya laut dapat menjadi lahan ideal untuk mencari nafkah. Namun, tidak sedikit dari mereka yang putus asa dan memilih untuk pergi ke kota besar seperti Bandung atau Jakarta untuk mencari nafkah.
Padahal pemerintah pusat sudah mengalirkan dana yang cukup besar untuk pembangunan di daerah. Misalnya saja pada proyek PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) ataupun KUR (Kredit Usaha Rakyat). Dua program ini sudah semestinya menjadi katalis pembangunan di daerah. Dengan digelontorkannya dana pinjaman yang tidak sedikit dari PNPM-Mandiri, seharusnya sudah ada titik cerah bagi pemberdayaan masyarakat di daerah. Dengan digelontorkannya dana yang tidak sedikit juga dari KUR, seharusnya rakyat tidak kesulitan lagi untuk memulai berdikari di daerah mereka sendiri.
Untuk Pelatihan Kerja (Bab V, pasal 9 – 30), nampaknya sudah ada itikad baik dari pemerintah yaitu dengan didirikannya Balai Latihan Kerja yang tersebar di kota besar ataupun di daerah. Salah satunya adalah Balai Latihan Kerja Daerah (BLKD) Jakarta yang berlokasi di Jalan Karet Pasar Baru Barat V No. 23, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Berdasarkan data-data yang didapat melalui website resmi BLKD Jakarta (http://blkd.webs.com) nampak antusias masyarakat cukup besar. Antara lain dengan jumlah peserta latihan kerja yang menembus angka 100 orang. Dan program kerja yang ditawarkan pun cukup menggiurkan. Serta terjalinnya kerja sama yang baik antara BLKD dengan lebih dari 50 penyedia lapangan kerja. Penyelenggaran BLK ini sendiri merupakan amanat dari undang-undang ketenagakerjaan, pasal 9 sampai dengan pasal 30.

Bagian selanjutnya yang juga merupakan salah satu celah dari undang-undang ini adalah penggunaan tenaga kerja asing (Bab 8, pasal 42 – 49). Secara umum, bab 8 ini menjelaskan bahwa tenaga asing boleh bekerja di Indonesia untuk jabatan tertentu dalam waktu tertentu, namun dilarang keras duduk di jabatan personalia. Sungguh ironis sekali, karena justru ini merupakan blunder tersendiri bagi negara kita. Pasal ini justru dijadikan landasan yang empuk bagi perusahaan multinasional yang ingin membuka cabang di Indonesia. Dan dengan adanya kelonggaran penempatan tenaga kerja asing, perusahaan multinasional ini justru tidak merelakan posisi Chief Excecutive Officer mereka diraih oleh bangsa pribumi (red. Warga negara Indonesia). Misalnya Yoon-Woo Lee (CEO Samsung Indonesia), Miki Yamamoto (CEO Astra Honda Indonesia) dan Bob McDougall (CEO Nokia Indonesia). Dan beberapa jajaran direksi dari tiga perusahaan tersebut yang masih didominasi oleh tenaga kerja asing.
Ironis dan cukup menyedihkan. Atasan didominasi oleh tenaga kerja asing, sementara karyawan/buruh/bawahan didominasi oleh bangsa pribumi. Hal ini memang semakin menggambarkan pola neo-kolonialisasi di sektor ekonomi. Apa bedanya dengan zaman penjajahan dulu, dimana rakyat kita hanya bekerja sebagai buruh tani, buruh tanam paksa ataupun buruh pembangunan jalan Anyer-Panarukan. Pemerintah selalu bersembunyi dibalik kata-kata “percepatan pertumbuhan ekonomi dengan modal investor asing” untuk menutupi kelemahan ini.
Pola hubungan kerja yang ditawarkan undang-undang ini cukup menarik dan menimbulkan sedikit –atau bahkan banyak- polemik. Pasal 50 – 66 menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga hubungan kerja yang dapat digunakan. Hubungan pertama adalah kontrak, pegawai tetap ataupun pelimpahan pekerjaan pada pihak ketiga (tender dan outsourcing).

Saat ini kontrak sedang menjadi tren tersendiri dalam dunia pekerjaan dan kerap disalahgunakan. Penyalahgunaan sistem kontrak –sekaligus penggunaan tenaga kerja asing dapat kita saksikan pada kasus pemogokan pilot dan awak kabin Garuda Indonesia akhir Juli lalu. Pilot asing dipekerjakan dengan sistem kontrak selama satu tahun dan bisa diperpanjang. Dalam maskapai penerbangan, profesi pilot tidak dapat dikategorikan sebagai jenis pekerjaan kontrak (pasal 59 ayat 1). Dan terang saja pilot lokal melancarkan aksi mogok kerja karena pihak manajemen telah mempraktekkan sistem yang keliru.

Sekilas Tentang Kabupaten Kuningan


Kabupaten Kuningan, sebuah kota kecil yang dianugerahi kekayaan alam yang luar biasa. Panorama asri khas kaki Gunung Ciremai nampaknya telah memantapkan Kuningan sebagai kota wisata alam di daerah Jawa Barat. Lihat saja bagaimana Desa Sangkan Hurip dipenuhi oleh resort pemandian air panas. Sebut saja Hotel Prima, Kolam Renang Sangkan Hurip Alami, Hotel Sangkan Indah, Grage Hotel dan Spa dan masih banyak lagi. Tak jarang, pada musim tertentu seperti musim liburan sekolah atau hari raya, daerah ini sangat dipadati oleh wisatawan domestik maupun mancanegara.
Wisatawan domestik kebanyakan berasal dari Cirebon, Majalengka, Brebes, dan Ciamis. Keberadaan jaringan hotel besar seperti Grage Hotel dan Spa serta Hotel Prima pun menambah luas jangkauan promosi wisata daerah ini. Kedua hotel tersebut merupakan yang paling rajin dalam menjaring wisatawan. Di stasiun Kereta Api Kejaksan (Cirebon) kedua hotel tersebut menyediakan stand khusus serta kendaraan untuk langsung menuju Kuningan.
Pelestarian beberapa elemen budaya pun nampaknya tidak main-main. Kereta kuda (biasa disebut sebagai Delman) masih dilestarikan pemerintah daerah sebagai sarana transportasi masyarakat. Delman dinilai cocok untuk menjadi alat transportasi Kuningan dengan topografi yang berbukit-bukit. Selain itu, kendaraan jenis ini pun dinilai ramah lingkungan ; bebas polusi udara dan unik.

 
 Usaha Pemerintah Kuningan untuk menjadikan Kuningan sebagai kota wisata pun semakin nyata terbentuknya beberapa kelompok usaha makanan traditional. Misalnya saja aneka keripik, opak ataupun tape ketan yang mudah sekali kita jumpai di pinggir jalan kota Kuningan. Tape ketan merupakan hasil fermentasi beras ketan yang dibungkus dalam daun jambu ini merupakan salah satu kuliner khas kota Kuningan. Campuran rasa manis dan asam membuat lidah ketagihan. Kuliner  khas ini pun dikemas dengan cara yang sangat khas. Bukan dengan plastik ataupun botol, tapi dikemas di dalam ember berwarna hitam. Entah ini ide siapa, tapi memang ini unik. Di sepanjang jalan dapat dengan mudah kita jumpai warung-warung makanan khas Kuningan yang tidak jarang juga menjual tape ketan dalam ember hitam.


Kamis, 13 Oktober 2011

Konflik Perbatasan: Penyakit Lama yang Tak Kunjung Sembuh

      Akhir-akhir ini pemberitaan di TVOne dan MetroTV selalu tentang dua hal, yaitu Reshuffle Kabinet dan Konflk Perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Berita pertama cukup menarik untuk dibahas, tapi kayanya perlu analisa yang lebih dalam lagi. Tapi malam ini saya bersemangat untuk membahas berita yang kedua yaitu tentang "konflik" perbatasan.
      Diberitakan bahwa Malaysia telah "mencaplok" -kata-kata yang makin familiar dengan pemberitaan- kawasan perbatasan. Daerah yang menjadi sengketa adalah Camar Bulan dan Tanjung Datu. Kedua stasiun tv tersebut bersikukuh bahwa kedua daerah tersebut telah dicaplok Malaysia tapi pemerintah -Menkopolhukam dan TNI- punya pandangan lain. tidak ada daerah kita yang dicaplok oleh Malaysia.
Menurut pandangan saya, justru yang menjadi masalah bukan RI dengan Malaysia tapi pemerintah dengan media massa. Keduanya bersikukuh dengan pandangan mereka. Dan keduanya -entah oleh siapa- telah DIADU DOMBA.
      Isu pertikaian negara kita dengan Malaysia memang sangat renyah dan nikmat bagi media massa. Masih ingat dengan kasus Sipadan-Ligitan, Ambalat, Angklung, Batik ataupun lagu Rasa Sayange?? Kesemua itu pernah menjadi topik hangat di media massa. Untuk memenangkan pertikaian tersebut, kita memang sudah membuat beberapa langkah strategis seperti mendafarkan batik sebagai warisan budaya kita. Dan baru-baru ini Indonesia telah membuat rekor dunia dengan mencatatkan "bermain angklung terbanyak se dunia", kalo saya tidak salah di London dan dikomandoi oleh maestro angklung, Kang Udjo.
      Konflik perbatasan ataupun materi pertikaian lainnya sebaiknya tidak perlu diperuncing lagi. Jangan sampai isu ini malah memecah belah kita. Biarkan para ahli menyelesaikan masalah ini. Toh sudah ada pengadilan internasional yang akan memediasi permasalahan ini. Yang perlu ditegaskan adalah : Seberapa Pedulikah Kita Pada Kekayaan Bangsa?????
      Menurut saya kasus batik merupakan hal yang paling memalukan bagi bangsa kita. Sebelum ada insiden perebutan batik, batik hanyalah pakaian yang dipakai khusus ke acara hajatan!! Dan pemakaian batik pun hanya dikhususkan bagi para "orang tua" saja. Anak muda enggan atau bahkan malu pakai batik. Tapi setelah batik "direbut" oleh Malaysia dan diberitakan secara luas dan intens oleh media massa, semua orang mendadak cinta batik. Anak muda pun langsung peduli pada batik. Para desainer tanah air pun langsung meluncurkan batik kombinasi rancangan mereka. Sentra batik langsung ramai dikunjungi.
  Haduh...... benar-benar menyedihkan. Apakah harus selalu seperti ini??? Apa harus ada "perebutan/pencaplokan/klaim"  kekayaan bangsa lantas kita sadar bahwa khazanah itu ada dan langsung mencintainya?? Seandainya Malaysia tidak mengklaim batik, apakah kita akan mencintai batik??
Kasus perbatasan ini juga sebenarnya pekerjaan rumah bagi pemerintah dan warga negara Indonesia. Kalo diamati dari pemberitaan media massa, nampak terjadi perbedaan yang cukup mencolok antara kawasan perbatasan di kedua negara. Di perbatasan Malaysia, sudah tersedia sekolah beserta asrama yang sangat memadai. Di kawasan Indonesia??haha...jangankan sekolah, listrikpun kabarnya tidak ada. Di kawasan Malaysia juga sudah tersedia resort dan turis-turis pun berdatangan. Lalu, seandainya sengketa perbatasan itu berakhir, apa lantas kita baru peduli pada daerah perbatasan??
      Sayang sekali kalau sikap reaktif ini tak kunjung sembuh. Saat ini, mari kita rawat dan cintai khazanah budaya Indonesia tanpa harus melewati sengketa dengan Malaysia. Janganlah hubungan kita dengan Malaysia rusak hanya karena kita asyik menikmati budaya lain -melupakan budaya sendiri-. Lupakan modern dance, rap, starbucks, boyband/girlband Korea2an ataupun budaya luar lain. Mari kita lestarika Jaipong, Keroncong, Gamelan, Kecapi, Seruling -dan artefak budaya lain-..... Kalo bukan kita yang memulai, SIAPA LAGI COYYY.......

Selasa, 11 Oktober 2011

Undang-undang ketenagakerjaan

Buat temen-temen yang membutuhkan undang-undang mengenai ketenagakerjaan, silakan klik link:
http://www.4shared.com/file/z3FwBZOQ/Undang-undang.html
Paketan undang-undang ini terdiri dari 3, yaitu:

  1. Undang-undang no 13 tahun 2003
  2. Undang-undang no 2 tahun 2000, dan
  3. Undang-undang no 21 tahun 2000.
Monggo dianalisa.....

Kamis, 06 Oktober 2011

Humas Pemerintah


Peranan humas di lingkungan pemerintahan sangat penting dalam membangun citra positif bangsa dan negara. Apalagi dewasa ini pemerintah tengah menghadapi berbagai persoalan kemasyarakatan yang mendasar. Upaya revitalisasi peranan kehumasan sangat penting dan menjadi tuntutan yang mendesak saat ini, wajib dilaksanakan di semua instansi pemerintah, sebagai momentum strategis untuk melakukan perubahan tatanan peranan kehumasan yang dapat bersinergi secara efektif.  Humas pemerintah selalu dituntut kemampuannya dalam menghadapi tantangan dan perubahan lingkungan yang sangat cepat.
Sementara itu, diakui bila selama ini peran dan fungsi humas di lingkungan pemerintahan daerah masih sangat terbatas dan belum optimal. Alasannya karena keterbatasan kemampuan SDM dari para pejabat humas itu sendiri dalam penguasaan substansi tugas dan peran, kurangnya pejabat yang berkualifikasi kehumasan dari sisi  pemahaman tentang arti dan fungsi dari humas itu sendiri.
Dalam sebuah organisasi khususnya di lingkup pemerintahan daerah, humas memegang peranan yang sangat penting dan strategis. Selain itu, sebagai sebuah kegiatan komunikasi, humas juga berfungsi sebagai jembatan untuk membangun suasana yang kondusif dalam kerangka ‘win-win solutions’, antar berbagai stakeholders organisasi, baik internal maupun eksternal dalam rangka membangun image atau citra dari organisasi pemerintah itu sendiri.
Peran dan fungsi humas pemerintah selama ini masih kalah kelas bila dibandingkan dengan public relations organisasi bisnis atau kalangan dunia usaha lainnya. Sadar bahwa humas memiliki peran yang semakin penting dan strategis, bupati mengharapkan agar aparatur kehumasan pemerintah sebisa mungkin lebih memperluas wawasan, pemahaman dan pengetahuan di seputar dunia kehumasan agar kinerja dan profesionalisme tugas pemerintahan dapat terlaksana dengan baik.

Humas Sebagai Penyambung Lidah
Istilah penyambung lidah kerap kali digunakan untuk menjelaskan suatu fungsi perantara antara satu pihak dengan yang lain. Nah, salah satu fungsi humas pemerintah adalah penyambung lidah antara pemerintah dengan beberapa pemangku (stakeholder) kepentingan pemerintah. Dalam Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara (Permen PAN) nomor 8 tahun 2007, para pemangku kepentingan pemerintah terbagi kedalam enam kategori, yaitu kelompok media, kelompok internal, kelompok eksternal, kelompok lembaga, kelompok LSM dan kelompok lembaga tertentu (lembaga penyelenggara negara lain).
Pegawai humas pemerintah harus mampu memposisikan diri sebagai jembatan antara pemerintah dengan kelompok-kelompok tersebut. Memang jika ditilik lebih dalam lagi, tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara tugas dan tanggung jawab humas pemerintah dengan humas swasta. Dengan media massa pegawai humas harus mampu menjalin keeratan kerja. Realisasinya dapat berupa pertemuan rutin, penyedia bahan ataupun dalam bentuk hubungan informal. Media massa harus dipandang sebagai mitra kerja, bukan pesaing. Hal ini untuk menjalin hubungan saling menguntungkan diantara keduanya. Pegawai humas memiliki informasi yang butuh dipublikasikan, dan media massa memiliki saluran yang dapat difungsikan sebagai corong kepada masyarakat. Dengan adanya keeratan hubungan ini, diharapkan humas dapat memacu kinerja pemerintah yang sedang giat-giatnya membangun.
Sama dengan fungsi humas pada umumnya, humas pemerintah juga harus menjembatani hubungan pemerintah dengan pegawainya. Ini mungkin pekerjaan yang cukup sederhana. Pegawai humas harus mampu membuat kerangka kerja yang dapat membuat pegawai pemerintah (PNS) lainnya merasa betah dan di’manusia’kan. Perwujudan langkah kerja ini dapat meniru model hubugan internal yang biasa dilakukan di perusahaan/instansi swasta seperti adanya rapat berkala dengan pimpinan, kotak keluhan/saran, liburan bersama dan kegiatan lainnya.
Kelompok lain adalah kelompok eksternal. Kategori ini sebenarnya agak rancu. Karena biasanya ada penggolongan publik yang hanya digolongkan pada publik internal dan eksternal. Publik internal adalah karyawan perusahaan / instansi dan sisanya adalah kelompok eksternal. Namun, penggolongan publik eksternal yang dimaksud disini adalah masyarakat / komunitas masyarakat. Dan inilah publik yang semestinya mendapat perhatian serius dari pegawai humas pemerintah.
Para pegawai humas pemerintah harus mampu menciptakan suatu program kerja yang dapat menghubungkan masyarakat dengan pemerintah. Memang membutuhkan satu program tepat yang menjangkau seluruh masyarakat. Namun, bukan suatu hal yang tidak mungkin jumlah masyarakat yang cukup banyak itu dapat dijangkau oleh pegawai humas pemerintah. Untuk mencapai itu, biasanya yang dirangkul untuk diajak berdiskusi adalah para pemuka pendapat (opinion leaders). Metode ini memang cukup realistis untuk menjembatani pemerintah dengan masyarakat.
Kelompok lainnya adalah kelompok lembaga yang meliputi BUMN/BUMD, TNI dan POLRI. Berbagai lembaga ini diperlukan untuk menjadi katalis dalam usaha pembangunan daerah. Pada saat ini, pemerintah tidak bisa melakukan pembangunan seorang diri. Butuh bantuan dan dukungan dari berbagai elemen lain. Untuk kelompok publik ini, pegawai humas diharapkan dapat menjalin koordinasi masing-masing lembaga dengan pemerintah. Koordinasi yang baik akan memudahkan pemerintah untuk berdiskusi ataupun sosialisasi program kerja yang akan, sedang ataupun telah dilakukan. Metode ini juga cocok digunakan untuk kelompok lembaga selanjutnya yaitu kelompok lembaga tertentu, yaitu lembaga penyelenggara lainnya.
Kelompok terakhir adalah adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). LSM sering kali menjadi mitra ataupun ‘pengganggu’ pemerintah dalam menjalankan program kerja. Tidak jarang LSM memposisikan diri sebagai pendamping pemerintah dalam menjalankan fungsi advokasi ataupun pengawas. Namun kerap kali LSM menjadi ‘pengganggu’ pemerintah. Kritik, masukan ataupun cercaan dari LSM sering disampaikan secara lantang. Cara yang ditempuh dapat dengan cara halus seperti mengadakan konferensi pers ataupun dengan cara kasar seperti unjuk rasa yang dapat memicu konflik ataupun kerusakan. Untuk kelompok yang satu ini, pegawai humas harus bekerja maksimal. Sebisa mungkin pegawai humas harus membina hubungan saling menguntungkan dengan LSM. Cara yang ditempuh dengan meminimalisir LSM yang sering menjadi ‘pengganggu’.

Humas Sebagai Pusat Informasi
Penguasaan informasi merupakan syarat mutlak bagi praktisi dalam mengemban tugasnya di dalam suatu organisasi, baik dalam hubungannya dengan pihak pimpinan, maupun dengan khalayak dalam, dan terlebih lagi dengan khalayak luar, informasi merupakan masukan yang harus dikuasai atau dimiliki.
Penguasaan informasi dapat dimulai dari kejelian mereka akan informasi ataupun beberapa fenomena yang memiliki nilai informasi. Sutabri (2005) menggolongkan informasi kedalam beberapa kategori, salah satunya adalah informasi berdasarkan dimensi waktu yaitu informasi masa lalu dan informasi masa kini. Informasi masa lalu biasanya sudah dikemas dalam bentuk arsip. Informasi ini bisa digunakan pegawai humas pemerintah untuk disebarkan dan digunakan sebagai bahan perencanaan program humas.
Informasi masa kini berupa agenda-agenda kegiatan yang akan dilakukan oleh pemerintah. Namun, kecakapan yang dibutuhkan tidak hanya mengenali berdasarkan kategori tapi lebih kepada pengemasan informasi tersebut. Pasal 19 PermenPAN nomor 8 tahun 2007 menyebutkan bahwa website dapat digunakan sebagai media penyebaran informasi. Website hanyalah merupakan salah satu media, tapi pegawai humas juga harus mampu mengemas informasi dalam bentuk yang diperlukan pemangku kepentingan. Bentuk kerja ini dapat berupa penyediaan bahan untuk konferensi pers,  buku panduan program kerja, mailing list atau bentuk apapun.
Semua ini tidak terlepas dari upaya untuk mengubah perilaku khalayak melalui dua jenjang, yaitu transforming role dan socializing role. Yang pertama dimaksudkan untuk mengubah perilaku publik, sementara yang kedua adalah hasil yang dapat diperoleh.

Humas Pemerintah dan UU KIP
Undang-undang No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik merupakan tantangan tersendiri bagi humas pemerintah. Undang-undang merupakan perundangan yang cukup merepotkan para humas pemerintah. Biasanya, segala informasi yang ada di badan publik bersifat tertutup namun dengan munculnya peraturan ini, semuanya berbanding terbalik. Sekarang semuanya haruslah bersifat terbuka kecuali dokumen atau informasi yang dinyatakan rahasia.
Sebagai penyedia informasi publik seorang pegawai humas badan publik harus jeli terhadap informasi publik. Humas pemerintah dituntut untuk selalu menyediakan informasi jika atau pun tanpa diminta. Untuk itu pengetahuan pegawai humas tentang peraturan ini harus ditingkatkan.
Peraturan ini sebenarnya ada baiknya juga. Humas pemerintah memiliki kompetitor tetap yang selalu selangkah lebih maju, yaitu media massa. Media massa seharusnya menjadi mitra dari pegawai humas. Hal ini sudah ditegaskan dalam Permen PAN No 8 tahun 2007 bahwa media massa merupakan salah satu pemangku kepentingan humas pemerintah. Dan seharusnya humas pemerintah mampu memberikan segala informasi yang diminta oleh media massa.
Namun, justru yang nampak malah sebaliknya. Media massa dan humas pemerintah malah berlomba-lomba menyajikan informasi kepada masyarakat. Humas pemerintah –yang memang sudah salah satu tugasnya- menyajikan informasi kepada masyarakat tentang citra baik pemerintah. Media massa pun kerap kali melakukan hal sama, namun tidak jarang media massa lebih bersikap kritis terhadap kinerja aparat pemerintah.
Sikap kritis media massa memang sudah bukan hal yang mengejutkan. Seringkali pegawai humas pemerintah harus menetralisir keadaan. Dan inilah yang kerap kali menjadi hal yang sangat merepotkan para pegawai humas, yaitu terus menerus menjadi orang terdepan dalam mengklarifikasi berbagai kesalahan yang belum tentu dia lakukan. Pegawai humas harus mengklarifikasi mangkirnya para aparat negara yang masih dalam suasana mudik lebaran.
Oleh karena itu, -saya tekankan lagi- pegawai humas pemerintah harus jeli terhadap segala macam informasi. Pegawai humas pemerintah diberi tanggung jawab untuk mempertahankan citra pemerintah dan kemelut dengan mdia massa hanyalah salah satu contoh kecil dari berbagai kemelut yang biasa mereka hadapi.
Pada dasarnya peraturan ini mempermudah kinerja pegawai humas pemerintah. Dengan adanya undang-undang ini pegawai humas dapat memohon untuk mendapatkan kemudahan akses ke segala lini pemerintahan untuk mendapatkan informasi. Dengan kemudahan akses tersebut pegawai humas dapat lebih mempersiapkan strategi komunikasi yang dibutuhkan untuk penyampaian informasi kepada masyarakat.
Dengan adanya undang-undang ini juga, para pegawai humas pemerintah dituntut untuk lebih terampil lagi dalam mengolah informasi yang menjadi konsumsi publik. Tidak hanya berbicara, pegawai humas pemerintah juga harus memiliki keterampilan menulis. Pasal 19 Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara menyatakan bahwa website merupakan salah satu media komunikasi humas pemerintah.
Permbuatan website tentunya tidak hanya menuntut keterampilan yang bersifat teknis seperti teknik pembuatan website, tapi juga menuntut kemampuan konseptual dalam hal penataan informasi yang akan disajikan. Seperti jenis informasi yang akan ditampilkan di website dan mekanisme update.

Kesenjangan Besar Antara Teori dengan Kenyataan
Judul sub bahasan ini memang tepat untuk menggambarkan kenyataan yang terjadi. Berbagai panduan serta teori tentang humas pemerintah pun sudah tersedia banyak. Bahkan pegawai humas pun dipermudah lagi dengan tersedianya beberapa model humas perusahaan/instansi swasta yang dapat diadopsi. Namun, seringkali semua itu tidak dilirik oleh pegawai humas. Dan inilah masalah yang sebenarnya.
Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara No. 8 tahun 2007 sudah sangat bagus untuk diterapkan di humas pemerintah. Peraturan tersebut dapat dijadikan sebagai acuan kerja, namun tidak jarang pegawai humas yang kebingungan tentang tugas dan fungsi humas itu sendiri. Tak jarang para pegawai humas memaknai pekerjaan humas sebagai ‘tukang kliping’ dan juru bicara.
Saya pernah beberapa kali mengunjungi instansi pemerintah dan fenomena yang saya temui pun cukup mengharukan. Posisi humas ini seringkali dianggap remeh. Posisi ini lebih banyak diisi oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan sangat dangkal tentang tugas dan fungsi humas. Tidak sedikit dari mereka yang tidak memiliki latar belakang pendidikan kehumasan. Kelemahan ini sedikit tertutupi dengan beberapa latihan/training kehumasan yang diikuti, namun sangat sedikit. Karena pada umumnya mereka kesulitan menerapkan ilmu yang mereka dapat.
Kelemahan ini memang mengindikasikan adanya kesalahan dalam prosedur perekrutan sumber daya manusia. Pola perekrutan ini sebenarnya sudah diatur dengan jelas dalam Permenpan yang sudah sering saya sebutkan diatas. Namun, pada praktiknya memang banyak terdapat celah yang merusak citra pegawai humas itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Jefkins, Frank. 2005. Public Relations. Jakarta : Penerbit Erlangga
Sutabri, Tata. 2005. Sistem Informasi Manajemen. Yogyakarta : Penerbit Andi

Kamis, 29 September 2011

Brand (Merek)


Kendati merek telah lama berperan dalam perniagaan, namun baru pada abad ke-20 berbagai diskusi mengenai merek banyak bermunculan. Merek dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting dalam pemasaran (Susanto dan Wijanarko: 2004). Merek dianggap –dan memang benar adanya- sebagai pembeda produk yang satu dengan yang lain. Berbagai riset pemasaran diselenggarakan untuk memantapkan berbagai kerangka teoritis tentang merek. Penafsiran merek yang unik telah memperkuat penggunaan berbagai atribut produk, nama, kemasan, strategi distribusi dan periklanan.
Contoh gamblang dari berharganya merek adalah pemberian lisensi. Pada tahun 1988 Sunkist menerima $ 10,3 juta dalam bentuk royalty. Bagaimana tidak, merek Sunkist banyak digunakan produk lain seperti Sunkist Fruit Gems (permen Ben Myerson), soda jeruk Sunkist (Cadburry Schweppes), minuman jus Sunkist (Lipton), Sunkist Vitamin-C (Ciba-Geigy).
Nilai suatu merek yang mapan sebanding dengan kenyataan bahwa saat ini sangat sulit menciptakan merek dibandingkan dengan beberapa dasawarsa lalu. Pertama, biaya iklan dan distribusi yang semakin tinggi. Kedua, persaingan membangun merek semakin ketat. Dipicu dengan era industri, banyak merek-merek baru bermunculan. Susanto dan Wijanarko (2004) menyatakan bahwa saat ini tidak kurang dari 3000 merek diperkenalkan di toko-toko swalayan. Saat ini sudah ada lebih dari 200 merek mobil, 150 merek kosmetik dan ratusan atau bahkan ribuan merek pakaian jadi.
Kata ataupun urgensi dari merek itu sendiri semakin lama semakin berkembang. Pada awal mula kemunculannya, merek hanya dipandang sebagai sesuatu yang melekat pada produk. Seperti minuman soda manis berwarna hitam nan menyegarkan diberi tulisan Coca-Cola dan jadilah minuman tersebut bernama Coca-Cola. Lambat laun merek tidak hanya berkutat pada permasalahan nama saja, melainkan sudah mempengaruhi objek ataupun produk tersebut. Pada masa ini, kemasan dan bentuk produk sudah mulai dipikirkan dan disesuaikan dengan merek. Kedigdayaan merek semakin terbukti tatkala merek sudah mulai berperan sebagai simbol atau citra. Ferrari melambangkan kecepatan dan kemewahan, Honda simbol sepeda motor dengan citra irit dan lain sebagainya.  
Konsistensi diperlukan agar merek menjadi spesifik dan mempunyai daya pembeda dalam benak konsumen. Melalui cara ini, pesaing tidak mempunyai kesempatan untuk menempati posisi merek tersebut dalam benak konsumen. Diferensiasi harus diutamakan pada manfaat yang dibutuhkan pelanggan, bukan hanya pada proses produksi. Seringkali perusahaan lebih mementingkan peningkatan penjualan ketimbang kepercayaan konsumen. Merek harus memberikan nilai positif kepada pelanggan dengan mempertinggi interpretasi dan pemrosesan pengambilang keputusan pembelian.
Merek didefinisikan oleh Kotler (2003) sebagai nama, simbol, tanda, atau desain atau kombinasi diantaranya, dan ditujukan untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari seorang penjual atau kelompok penjual dan untuk membedakannya dari para pesaingnya. Kamus Webster (dalam Rangkuti : 2008) adalah to mark with stencil, as a box, cask, etc. In order to give a description of the contents or the name of the manufacturer. Dari dua definisi tersebut, ada kesamaan dimensi megenai merek, yaitu sebagai identifikasi unik suatu produk. Dengan adanya merek, kita dapat membedakan satu produk dengan produk yang lain.
Kotler menambahkan bahwa suatu merek adalah suatu simbol yang komplek yang menjelaskan enam tingkatan pengertian, yaitu:
1)      Atribut produk. Merek memberikan ingatan pada atribut - atribut tertentu dari suatu produk, misalnya jika kita mendengar merek Nutrisari, tentunya kita teringat akan minuman rasa jeruk.
2)      Manfaat. Atribut - atribut  produk yang dapat diingat melalui merek harus dapat diterjemahkan dalam bentuk manfaat baik secara fungsional dan manfaat secara emosional, misalnya atribut kekuatan kemasan produk menterjemahkan manfaat secara fungsional dan atribut harga produk menterjemahkan manfaat secara emosional yang berhubungan dengan harga diri dan status.
3)      Nilai. Merek mencerminkan nilai yang dimiliki oleh produsen sebuah produk, misalnya merek Sony mencerminkan produsen elektronik yang memiliki teknologi yang canggih dan modern.
4)      Budaya. Merek mempresentasikan suatu budaya tertentu, misalnya Mercedes mempresentasikan budaya Jerman yang teratur, efisien, dan berkualitas tinggi.
5)      Kepribadian. Merek dapat diproyeksikan pada suatu kepribadian tertentu, misalnya Isuzu Panther yang diasosikan dengan kepribadian binatang panther yang kuat (mesin kuat dan tahan lama).
6)      Pengguna. Merek mengelompokkan tipe - tipe konsumen yang akan membeli atau mengkonsumsi suatu produk, misalnya Honda Jazz untuk konsumen remaja dan pemuda.
Merek merupakan hal yang sangat penting, baik dari sisi konsumen ataupun produsen. Dari sisi konsumen, keberadaan merek akan mempermudah pembelian serta jaminan kualitas produk. Untuk membeli deterjen bubuk, seorang ibu rumah tangga langsung ingat Rinso yang menurutnya juga berkualitas. Bayangkan saja jika tidak ada merek, akan sangat sulit jika kita membutuhkan suatu produk tertentu.
Dari sisi produsen, merek merupakan sarana komunikasi. Dengan adanya merek, konsumen akan mudah memasarkan produk serta memberikan janji-janji manis keunggulan produk. Merek dapat dengan mudah diketahui ketika diperlihatkan atau ditempatk di rak display.