Halaman

Senin, 17 Januari 2011

Kisruh APBD DKI 2001 dan Undang-undang KIP

Jatah rakyat hanya 33,49%?
Pada tahun 2001 terdapat aksi boikot bayar pajak yang diprakarsai oleh KOTA (Koalisi Organisasi nonpemerintah untuk Transparansi Anggaran). Aksi boikot pajak ini tidak tanggung-tanggung, lebih dari 1000 spanduk berwarna hitam berukuran 20x20 meter terpampang di hampir seluruh kawasan strategis ibukota. Tulisannya adalah JANGAN BAYAR PAJAK DAN RETRIBUSI, BOIKOT APBD DKI. Tidak hanya menempelkan spanduk, KOTA pun melayangkan gugatan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar gubernur membatalkan APBD tersebut.

Aksi ini dilatarbelakangi oleh penyebaran selebaran yang mengutip angka-angka yang tercantum pada APBD DKI Jakarta 2001. Angka yang tercantum antara lain anggaran baju dinas gubernur Rp. 40 juta per tahun dan baju dinas untuk empat wakil gubernur 106 juta per tahun. Tidak hanya itu, anggaran kesehatan gubernur juga lumayan besar, yaitu Rp. 78 juta per tahun atau Rp. 6,5 juta per tahun. Asumsinya, setiap bulan gubernur sakit dan berobat ke rumah sakit dengan biaya 6,5 juta??? Itu belum seberapa jika dibandingkan dengan rasio total anggaran untuk gubernur, pegawai pemda dan anggota DPRD versus anggaran untuk rakyat. Dari total APBD sebesar Rp. 7,5 trilyun, Rp. 4,985 (atau 66,51 persen)  untuk keperluan gubernur, pegawai pemda dan anggota DPRD dan rakyat hanya kebagian jatah Rp. 2,5 trilyun (atau hanya 33,49 trilyun!!!).

Perbandingan yang lucu
Gubernur DKI –pada waktu itu masih bapak Sutiyoso- tentu tidak tinggal diam. Sutiyoso mengecam keras ajakan boikot bayar pajak karena justru itu akan merugikan rakyat sendiri. Sutiyoso membenarkan rasio 66,51 : 33,49 sebagai batasan ideal yang sudah disepakati. Alasan Sutiyoso memberikan anggaran yang besar kepada birokrasi dan anak buahnya adalah karena birokrasi menjadi penggerak pemerintahan sehari-hari.

Apakah benar seperti itu? Kita lanjut lagi pada pembahasan APBD. Dalam APBD tersebut terdapat anggaran untuk peningkatan gizi masyarakat sebesar Rp. 925 juta, pemberdayaan fakir miskin Rp. 625 juta, program makanan tambahan anak di sekolah Rp. 200 juta. Yang angkanya cukup lumayan hanyalah pembiayaan anak terlantar Rp. 1,35 milyar dan pembinaan dan rehabilitasi sosial Rp. 1,43 milyar.

Anggaran tersebut memang terkesan lucu jika dibandingkan dengan anggaran yang dialokasikan bagi operasional memungut pajak dan retribusi, Dinas Pendapatan Daerah mendapat 11,1 milyar untuk memungut pajak dan retribusi dan masyarakat. Belum lagi ada program yang tidak jelas namun mendapat alokasi yang sangat besar seperti pembangunan politik yang memerlukan 3,2 milyar dan peningkatan kesadaran bela negara dengan dana 2,9 milyar.

Untuk kaitan masalah ini dengan Undang-undang KIP (Keterbukaan Informasi Publik) tunggu artikel selanjutnya ya....