Pemecatan Sudiro dan Kasus PHK Lainnya
Sudiro,
merupakan salah satu penggerak demonstrasi karyawan PT. Freeport Indonesia
(Freeport) yang akhirnya di PHK. Tanpa alasan yang jelas, tiba-tiba saja
manajemen Freeport memecat Sudiro. Aksi ini pun telah menyisakan pertanyaan
yang sampai sekarang belum terjawab. Apakah Sudiro dipecat lantaran
memprakarsai gerakan demonstrasi karyawan Freeport?
Sudiro yang
sejak awal terus-menerus mempertanyakan peningkatan kesejahteraan kepada pihak
manajemen telah menjadi pahlawan tanpa tanda jasa bagi karyawan Freeport
lainnya. Empat Juli 2011 merupakan tonggak perjuangan karyawan Freeport
(non-staff) dalam memperjuangkan hak kesejahteraan mereka –sekaligus
memperjuangkan nasib Sudiro-.
Kasus Sudiro
ini bukanlah satu-satunya kasus PHK yang terjadi di tahun 2011. Tiga belas
Januari 2011, maskapai penerbangan Mandala menghentikan operasinya karena
lilitan utang. Maskapai ini terlilit utang mencapai Rp. 2,45 triliun kepada
kreditur konkruen yang jumlahnya ratusan dan utang ke kreditur separatis, Bank
Victoria sejumlah Rp. 54,14 Miliar[1].
Lilitan utang
ini memaksa PT. Mandala Airlines untuk “merumahkan” sejumlah karyawannya. Tentu
saja pemecatan ini masih bisa diterima oleh karyawan lantaran alasan Mandala memecat
ratusan karyawan adalah ketidakmampuan secara finansial.
Namun, ternyata
permasalahan Mandala tidak berhenti begitu saja. Kerelaan karyawan untuk
dirumahkan ternyata tidak membuat Mandala lepas dari masalah. Masalah terbesar
justru datang dari konsumen. Konsumen yang sudah terlanjur membeli tiket
Mandala meminta ganti rugi melalui refund.
Dan inilah yang
membuat manajemen Mandala pusing tujuh keliling. Selain memikirkan bagaimana
caranya untuk membayar hutang, Mandala juga harus memikirkan proses refund kepada konsumen. Alhasil,
manajemen Mandala meminta waktu 45 hari –sejak penghentian operasional- untuk
mengembalikan uang tiket konsumen.
Kasus PHK PT.
Asuransi Jiwa Bakrie (Bakrie Life) lebih menarik lagi. Mei 2011 perusahaan ini
terpaksa mem-PHK 80 karyawan lantaran ketidakmampuan finansial. Perusahaan ini tidak
mampu membayar produk asuransi berbasis investasi dengan nama Diamond Investa
sebesar Rp. 360 Milliar. Sesuai SKB, manajemen Bakrie Life menawarkan skema
pengembalian dana pokok sebesar 25% di 2010, 25% di 2011 dan sisanya 50% di
2012. Karena ini perusahaan tidak lagi memiliki uang tunai.
Dan 80 karyawan
tersebut terkena cipratan kesialan Bakrie Life, mereka harus menerima pesangon
berupa surat hutang[2].
Manajemen berjanji akan membayarkan surat hutang itu dengan uang tunai jika
telah memiliki dana tunai. Merasa diperlakukan tidak adil, karyawan Bakrie Life
mengajukan kasus ini ke Pengadilan Hubungan Industrial. Jalan ini pun ditempuh
setelah serikat pekerja mengirimkan
surat beberapa kali kepada pihak manajemen, namun tidak ada tanggapan
sedikitpun. Akibat kasus ini, Bakrie Life terancam dicabut izin usaha oleh
Bapepam-LK.
PHK: Tinjauan Undang-Undang
Kasus PHK
memang seringkali menghiasi hubungan industrial antara manajemen dengan
karyawan. Namun, PHK tidak dibenarkan untuk sering dilakukan oleh perusahaan.
PHK bersifat ‘makruh’, artinya boleh saja dilakukan tapi tidak dianjurkan.
Melalui Undang-undang nomor 13 tahun 2003, pemerintah telah melindungi hak-hak
pekerja termasuk Pemutusan Hubungan Kerja.
Bab 12
undang-undang ini dikhususkan berbicara mengenai pemutusan hubungan kerja.
Aturan main sudah dijelaskan secara rinci pada bab ini. Misalnya ruang lingkup
PHK, yaitu pada badan usaha yang berbadan hukum atau tidak (pasal 150).
Dijelaskan lebih rinci lagi kepemilikan badan hukum tersebut serta terdapat
ketentuan mempekerjakan orang lain dengan
membayar upah dan imbalan dalam bentuk lain. Itu artinya PHK berlaku pada
ikatan kerjasama antara majikan dengan karyawan. Ikatan kerjasama antara
majikan dengan karyawan tergambar jelas pada kata membayar upah dan
mempekerjakan.
Namun, PHK
sangat tidak dianjurkan. Pasal 151 menerangkan dengan jelas bahwa pengusaha, pekerja/buruh, serikat
pekerja/serikat/buruh, buruh dan pemerintah dengan segala upaya mengusahakan
agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. Benar-benar rangkaian kata
yang manis untuk melindungi kelangsungan hidup para pekerja. Di negara yang
angka pengangguran cukup tinggi –seperti Indonesia- PHK memang menjadi hal yang
sangat menakutkan. Misalnya saja pada krisis moneter yang melanda Indonesia.
Beberapa perusahaan harus merumahkan sebagian besar karyawannya lantaran
ketidakmampuan bertahanan hidup di nuansa krisis.
Namun, apakah
benar upaya pencegahan PHK telah terwujud dalam kehidupan nyata? Majikan,
karyawan dan pemerintah merupakan ‘tiga serangkai’ yang terlibat dalam lingkup
ketenagakerjaan ini. Karyawan tidak memiliki peran yang cukup besar dalam
realisasi pasal ini. Karena PHK merupakan kuasa perusahaan serta pengawasan
pemerintah.
Pasal 153-155
dengan sangat jelas memberi batasan mengenai PHK. Namun, aksi Freeport memecat
Sudiro karena telah memprakarsai aksi mogok karyawan tidak bisa diterima begitu
saja. Upaya Sudiro memperjuangkan kesejahteraan karyawan Freeport jelas tidak
dapat dikategorikan sebagai tindakan yang disebut dalam pasal 158. Sudiro
justru sedang melakukan aktivitas serikat pekerja.
Kasus Sudiro
ini seharusnya diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial atau Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi seperti yang ditempuh karyawan Bakrie Life. Kedua
lembaga ini memang sudah seharusnya memposisikan diri mereka sebagai mediator
pada kasus-kasus hubungan industrial. Tapi tidak terjadi pada kasus Sudiro.
Sudiro dipecat
secara sepihak oleh perusahaan. Aktivitas Sudiro dianggap memprovokasi karyawan
lain untuk menuntut kesejahteraan. Dan memang aksi Sudiro ini cukup berhasil.
Sudiro telah berhasil membangunkan naga tidur. Semua karyawan Freeport
(non-staff) pada akhirnya mogok kerja menuntut kenaikan upah. Dan sampai saat
ini aksi masalah upah ini belum mencapai titik temu.
Namun,
pemecatan sepihak ini memang telah mencoreng hubungan industrial di Indonesia.
Sudiro tidak melakukan satu hal pun yang tercatat pada pasal 158 ayat 1. Dan
ini tidak semestinya terjadi di negara hukum seperti Indonesia.
Berbeda dengan
kasus Mandala yang terpaksa mem-PHK sebagian besar karyawan karena masalah
keuangan. Hal ini memang lumrah dan merupakan jalan terbaik bagi kedua belah
pihak. Pasal 164 ayat 1 menerangkan bahwa perusahaan dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja karena perusahaan mengalami kerugian. Dan memang itulah yang
terjadi pada Mandala, pemutusan hubungan kerja damai.
Kasus Bakrie
Life merupakan kasus yang harusnya dijadikan para legislatif untuk membahas
ulang undang-undang ketenagakerjaan. Pasal 156 ayat 1 sampai 5 membahas secara
rinci perhitungan upah dan penghargaan masa kerja yang harus dibayarkan kepada
karyawan. Tapi tidak ada satu ayatpun yang menegaskan bahwa pesangon harus
dibayar tunai. Kata diwajibkan membayar
pada ayat 1 tidak menerangkan bahwa pesangon harus dibayar tunai. Membayar bisa
menjadi ambigu mengingat ragam alat pembayaran yang biasa dilakukan oleh kita.
Alat pembayaran yang berlaku di masyarakat ada beragam; uang, cek, giro, transfer dan lain-lain.
Pengadilan
hubungan industrial menyalahkan Bakrie Life dengan dalil surat hutang hanya
berlaku bagi hubungan perusahaan dengan investor. Pengadilan hubungan
industrial tidak menyalahkan Bakrie Life sepenuhnya karena tidak ada satupun
ayat yang dilanggar. Oleh karena itu, kasus Bakrie Life sebaiknya dijadikan
acuan untuk mengulas undang-undang ini.
Ketiga kasus
yang saya bawa hanyalah segelintir dari sekian banyak kasus PHK ataupun
hubungan industrial lain yang terjadi di Indonesia. Gresik merupakan salah satu
kota dengan kasus PHK yang cukup tinggi, 110 kasus terjadi tiap tahun[3].
Berdasarkan data Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Gresik angka kasus PHK
perorangan mencapai angka 90 hingga 110 per tahun mulai tahun 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar