Peranan humas di lingkungan
pemerintahan sangat penting dalam membangun citra positif bangsa dan negara.
Apalagi dewasa ini pemerintah tengah menghadapi berbagai persoalan
kemasyarakatan yang mendasar. Upaya revitalisasi peranan kehumasan sangat
penting dan menjadi tuntutan yang mendesak saat ini, wajib dilaksanakan di
semua instansi pemerintah, sebagai momentum strategis untuk melakukan perubahan
tatanan peranan kehumasan yang dapat bersinergi secara efektif. Humas
pemerintah selalu dituntut kemampuannya dalam menghadapi tantangan dan perubahan
lingkungan yang sangat cepat.
Sementara itu, diakui bila
selama ini peran dan fungsi humas di lingkungan pemerintahan daerah masih
sangat terbatas dan belum optimal. Alasannya karena keterbatasan kemampuan SDM
dari para pejabat humas itu sendiri dalam penguasaan substansi tugas dan peran,
kurangnya pejabat yang berkualifikasi kehumasan dari sisi pemahaman
tentang arti dan fungsi dari humas itu sendiri.
Dalam sebuah organisasi
khususnya di lingkup pemerintahan daerah, humas memegang peranan yang sangat penting
dan strategis. Selain itu, sebagai sebuah kegiatan komunikasi, humas juga
berfungsi sebagai jembatan untuk membangun suasana yang kondusif dalam kerangka ‘win-win solutions’, antar
berbagai stakeholders organisasi, baik internal maupun eksternal dalam rangka
membangun image atau citra dari organisasi pemerintah itu sendiri.
Peran dan fungsi humas pemerintah
selama ini masih kalah kelas bila dibandingkan dengan public relations organisasi
bisnis atau kalangan dunia usaha lainnya. Sadar bahwa humas memiliki peran yang
semakin penting dan strategis, bupati mengharapkan agar aparatur kehumasan
pemerintah sebisa mungkin lebih memperluas wawasan, pemahaman dan pengetahuan
di seputar dunia kehumasan agar kinerja dan profesionalisme tugas pemerintahan
dapat terlaksana dengan baik.
Humas Sebagai
Penyambung Lidah
Istilah penyambung lidah kerap kali
digunakan untuk menjelaskan suatu fungsi perantara antara satu pihak dengan
yang lain. Nah, salah satu fungsi humas pemerintah adalah penyambung lidah
antara pemerintah dengan beberapa pemangku (stakeholder)
kepentingan pemerintah. Dalam Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara
(Permen PAN) nomor 8 tahun 2007, para pemangku kepentingan pemerintah terbagi
kedalam enam kategori, yaitu kelompok media, kelompok internal, kelompok
eksternal, kelompok lembaga, kelompok LSM dan kelompok lembaga tertentu
(lembaga penyelenggara negara lain).
Pegawai humas pemerintah harus mampu
memposisikan diri sebagai jembatan antara pemerintah dengan kelompok-kelompok
tersebut. Memang jika ditilik lebih dalam lagi, tidak ada perbedaan yang cukup
signifikan antara tugas dan tanggung jawab humas pemerintah dengan humas
swasta. Dengan media massa pegawai humas harus mampu menjalin keeratan kerja.
Realisasinya dapat berupa pertemuan rutin, penyedia bahan ataupun dalam bentuk
hubungan informal. Media massa harus dipandang sebagai mitra kerja, bukan
pesaing. Hal ini untuk menjalin hubungan saling menguntungkan diantara
keduanya. Pegawai humas memiliki informasi yang butuh dipublikasikan, dan media
massa memiliki saluran yang dapat difungsikan sebagai corong kepada masyarakat.
Dengan adanya keeratan hubungan ini, diharapkan humas dapat memacu kinerja
pemerintah yang sedang giat-giatnya membangun.
Sama dengan fungsi humas pada
umumnya, humas pemerintah juga harus menjembatani hubungan pemerintah dengan
pegawainya. Ini mungkin pekerjaan yang cukup sederhana. Pegawai humas harus
mampu membuat kerangka kerja yang dapat membuat pegawai pemerintah (PNS)
lainnya merasa betah dan di’manusia’kan. Perwujudan langkah kerja ini dapat
meniru model hubugan internal yang biasa dilakukan di perusahaan/instansi
swasta seperti adanya rapat berkala dengan pimpinan, kotak keluhan/saran,
liburan bersama dan kegiatan lainnya.
Kelompok lain adalah kelompok
eksternal. Kategori ini sebenarnya agak rancu. Karena biasanya ada penggolongan
publik yang hanya digolongkan pada publik internal dan eksternal. Publik
internal adalah karyawan perusahaan / instansi dan sisanya adalah kelompok
eksternal. Namun, penggolongan publik eksternal yang dimaksud disini adalah
masyarakat / komunitas masyarakat. Dan inilah publik yang semestinya mendapat
perhatian serius dari pegawai humas pemerintah.
Para pegawai humas pemerintah harus
mampu menciptakan suatu program kerja yang dapat menghubungkan masyarakat
dengan pemerintah. Memang membutuhkan satu program tepat yang menjangkau
seluruh masyarakat. Namun, bukan suatu hal yang tidak mungkin jumlah masyarakat
yang cukup banyak itu dapat dijangkau oleh pegawai humas pemerintah. Untuk
mencapai itu, biasanya yang dirangkul untuk diajak berdiskusi adalah para
pemuka pendapat (opinion leaders).
Metode ini memang cukup realistis untuk menjembatani pemerintah dengan
masyarakat.
Kelompok lainnya adalah kelompok
lembaga yang meliputi BUMN/BUMD, TNI dan POLRI. Berbagai lembaga ini diperlukan
untuk menjadi katalis dalam usaha pembangunan daerah. Pada saat ini, pemerintah
tidak bisa melakukan pembangunan seorang diri. Butuh bantuan dan dukungan dari
berbagai elemen lain. Untuk kelompok publik ini, pegawai humas diharapkan dapat
menjalin koordinasi masing-masing lembaga dengan pemerintah. Koordinasi yang
baik akan memudahkan pemerintah untuk berdiskusi ataupun sosialisasi program
kerja yang akan, sedang ataupun telah dilakukan. Metode ini juga cocok digunakan
untuk kelompok lembaga selanjutnya yaitu kelompok lembaga tertentu, yaitu
lembaga penyelenggara lainnya.
Kelompok terakhir adalah adalah
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). LSM sering kali menjadi mitra ataupun
‘pengganggu’ pemerintah dalam menjalankan program kerja. Tidak jarang LSM
memposisikan diri sebagai pendamping pemerintah dalam menjalankan fungsi
advokasi ataupun pengawas. Namun kerap kali LSM menjadi ‘pengganggu’
pemerintah. Kritik, masukan ataupun cercaan dari LSM sering disampaikan secara
lantang. Cara yang ditempuh dapat dengan cara halus seperti mengadakan
konferensi pers ataupun dengan cara kasar seperti unjuk rasa yang dapat memicu
konflik ataupun kerusakan. Untuk kelompok yang satu ini, pegawai humas harus
bekerja maksimal. Sebisa mungkin pegawai humas harus membina hubungan saling
menguntungkan dengan LSM. Cara yang ditempuh dengan meminimalisir LSM yang
sering menjadi ‘pengganggu’.
Humas Sebagai
Pusat Informasi
Penguasaan informasi merupakan syarat
mutlak bagi praktisi dalam mengemban tugasnya di dalam suatu organisasi, baik
dalam hubungannya dengan pihak pimpinan, maupun dengan khalayak dalam, dan
terlebih lagi dengan khalayak luar, informasi merupakan masukan yang harus
dikuasai atau dimiliki.
Penguasaan informasi dapat dimulai
dari kejelian mereka akan informasi ataupun beberapa fenomena yang memiliki
nilai informasi. Sutabri (2005) menggolongkan informasi kedalam beberapa
kategori, salah satunya adalah informasi berdasarkan dimensi waktu yaitu
informasi masa lalu dan informasi masa kini. Informasi masa lalu biasanya sudah
dikemas dalam bentuk arsip. Informasi ini bisa digunakan pegawai humas
pemerintah untuk disebarkan dan digunakan sebagai bahan perencanaan program
humas.
Informasi masa kini berupa
agenda-agenda kegiatan yang akan dilakukan oleh pemerintah. Namun, kecakapan
yang dibutuhkan tidak hanya mengenali berdasarkan kategori tapi lebih kepada
pengemasan informasi tersebut. Pasal 19 PermenPAN nomor 8 tahun 2007 menyebutkan
bahwa website dapat digunakan sebagai media penyebaran informasi. Website
hanyalah merupakan salah satu media, tapi pegawai humas juga harus mampu
mengemas informasi dalam bentuk yang diperlukan pemangku kepentingan. Bentuk
kerja ini dapat berupa penyediaan bahan untuk konferensi pers, buku panduan program kerja, mailing list atau
bentuk apapun.
Semua ini tidak terlepas dari upaya
untuk mengubah perilaku khalayak melalui dua jenjang, yaitu transforming role dan socializing role. Yang pertama dimaksudkan untuk
mengubah perilaku publik, sementara yang kedua adalah hasil yang dapat
diperoleh.
Humas Pemerintah dan
UU KIP
Undang-undang No 14 Tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik merupakan tantangan tersendiri bagi humas
pemerintah. Undang-undang merupakan perundangan yang cukup merepotkan para
humas pemerintah. Biasanya, segala informasi yang ada di badan publik bersifat
tertutup namun dengan munculnya peraturan ini, semuanya berbanding terbalik.
Sekarang semuanya haruslah bersifat terbuka kecuali dokumen atau informasi yang
dinyatakan rahasia.
Sebagai penyedia informasi publik
seorang pegawai humas badan publik harus jeli terhadap informasi publik. Humas
pemerintah dituntut untuk selalu menyediakan informasi jika atau pun tanpa
diminta. Untuk itu pengetahuan pegawai humas tentang peraturan ini harus
ditingkatkan.
Peraturan ini sebenarnya ada
baiknya juga. Humas pemerintah memiliki kompetitor tetap yang selalu selangkah
lebih maju, yaitu media massa. Media massa seharusnya menjadi mitra dari
pegawai humas. Hal ini sudah ditegaskan dalam Permen PAN No 8 tahun 2007 bahwa
media massa merupakan salah satu pemangku kepentingan humas pemerintah. Dan
seharusnya humas pemerintah mampu memberikan segala informasi yang diminta oleh
media massa.
Namun, justru yang nampak malah
sebaliknya. Media massa dan humas pemerintah malah berlomba-lomba menyajikan
informasi kepada masyarakat. Humas pemerintah –yang memang sudah salah satu
tugasnya- menyajikan informasi kepada masyarakat tentang citra baik pemerintah.
Media massa pun kerap kali melakukan hal sama, namun tidak jarang media massa
lebih bersikap kritis terhadap kinerja aparat pemerintah.
Sikap kritis media massa memang
sudah bukan hal yang mengejutkan. Seringkali pegawai humas pemerintah harus
menetralisir keadaan. Dan inilah yang kerap kali menjadi hal yang sangat
merepotkan para pegawai humas, yaitu terus menerus menjadi orang terdepan dalam
mengklarifikasi berbagai kesalahan yang belum tentu dia lakukan. Pegawai humas
harus mengklarifikasi mangkirnya para aparat negara yang masih dalam suasana
mudik lebaran.
Oleh karena itu, -saya tekankan
lagi- pegawai humas pemerintah harus jeli terhadap segala macam informasi.
Pegawai humas pemerintah diberi tanggung jawab untuk mempertahankan citra
pemerintah dan kemelut dengan mdia massa hanyalah salah satu contoh kecil dari
berbagai kemelut yang biasa mereka hadapi.
Pada dasarnya peraturan ini
mempermudah kinerja pegawai humas pemerintah. Dengan adanya undang-undang ini
pegawai humas dapat memohon untuk mendapatkan kemudahan akses ke segala lini
pemerintahan untuk mendapatkan informasi. Dengan kemudahan akses tersebut
pegawai humas dapat lebih mempersiapkan strategi komunikasi yang dibutuhkan
untuk penyampaian informasi kepada masyarakat.
Dengan adanya undang-undang ini
juga, para pegawai humas pemerintah dituntut untuk lebih terampil lagi dalam
mengolah informasi yang menjadi konsumsi publik. Tidak hanya berbicara, pegawai
humas pemerintah juga harus memiliki keterampilan menulis. Pasal 19 Peraturan
Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara menyatakan bahwa website merupakan salah
satu media komunikasi humas pemerintah.
Permbuatan website tentunya tidak
hanya menuntut keterampilan yang bersifat teknis seperti teknik pembuatan
website, tapi juga menuntut kemampuan konseptual dalam hal penataan informasi
yang akan disajikan. Seperti jenis informasi yang akan ditampilkan di website
dan mekanisme update.
Kesenjangan Besar
Antara Teori dengan Kenyataan
Judul sub bahasan ini memang tepat
untuk menggambarkan kenyataan yang terjadi. Berbagai panduan serta teori
tentang humas pemerintah pun sudah tersedia banyak. Bahkan pegawai humas pun
dipermudah lagi dengan tersedianya beberapa model humas perusahaan/instansi
swasta yang dapat diadopsi. Namun, seringkali semua itu tidak dilirik oleh
pegawai humas. Dan inilah masalah yang sebenarnya.
Peraturan Menteri Pemberdayaan
Aparatur Negara No. 8 tahun 2007 sudah sangat bagus untuk diterapkan di humas
pemerintah. Peraturan tersebut dapat dijadikan sebagai acuan kerja, namun tidak
jarang pegawai humas yang kebingungan tentang tugas dan fungsi humas itu
sendiri. Tak jarang para pegawai humas memaknai pekerjaan humas sebagai ‘tukang
kliping’ dan juru bicara.
Saya pernah beberapa kali
mengunjungi instansi pemerintah dan fenomena yang saya temui pun cukup
mengharukan. Posisi humas ini seringkali dianggap remeh. Posisi ini lebih
banyak diisi oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan sangat dangkal tentang
tugas dan fungsi humas. Tidak sedikit dari mereka yang tidak memiliki latar
belakang pendidikan kehumasan. Kelemahan ini sedikit tertutupi dengan beberapa
latihan/training kehumasan yang diikuti, namun sangat sedikit. Karena pada
umumnya mereka kesulitan menerapkan ilmu yang mereka dapat.
Kelemahan ini memang
mengindikasikan adanya kesalahan dalam prosedur perekrutan sumber daya manusia.
Pola perekrutan ini sebenarnya sudah diatur dengan jelas dalam Permenpan yang
sudah sering saya sebutkan diatas. Namun, pada praktiknya memang banyak
terdapat celah yang merusak citra pegawai humas itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Jefkins, Frank. 2005. Public Relations. Jakarta : Penerbit
Erlangga
Sutabri, Tata. 2005. Sistem Informasi Manajemen. Yogyakarta :
Penerbit Andi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar