Halaman

Jumat, 21 Oktober 2011

UU Ketenagakerjaan: Misi Bunuh Diri


Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 ini menjelaskan aturan main ketenagakerjaan di Indonesia. Struktur anatomi undang-undang ini terdiri dari 18 bab dan 192 pasal dengan rincian sebagai berikut:
1)      Bab I tentang Ketentuan Umum
2)      Bab II tentang Landasan, asas dan tujuan
3)      Bab III tentang Kesempatan dan perlakuan yang sama
4)      Bab IV tentang Perencanaan dan informasi ketenagakerjaan
5)      Bab V tentang Pelatihan kerja
6)      Bab VI tentang Penempatan tenaga kerja
7)      Bab VII tentang Perluasan kesempatan kerja
8)      Bab VIII tentang Penggunaan tenaga kerja asing
9)      Bab IX tentang Hubungan kerja
10)  Bab X tentang  Perlindungan , pengupahan dan kesejahteraan
11)  Bab XI tentang Hubungan industrial
12)  Bab XII tentang Pemutusan Hubungan Kerja
13)  Bab XIII tentang Pembinaan
14)  Bab XIV tentang Pengawasan
15)  Bab XV tentang Penyidikan
16)  Bab XVI tentang Ketentuan umum dan sanksi administratif
17)  Bab XVII tentang Ketentuan peralihan dan
18)  Bab XVIII tentang Ketentuan Penutup
Undang-undang ini menjelaskan hak dan kewajiban dari masing-masing komponen yang terlibat dalam hubungan industrial, yaitu pemerintah (selaku regulator), pengusaha / perusahaan (selaku penyedia lapangan kerja) dan masyarakat pekerja.

Peran pemerintah antara lain tercermin dari bab 3 sampai bab 8, yaitu pemerintah bertanggung jawab atas kesempatan dan perlakuan yang sama, perencanaan dan informasi ketenagakerjaan, pelatihan kerja, penempatan tenaga kerja, perluasan kesempatan kerja dan penggunaa tenaga kerja asing. Peran pertama ini menitikberatkan peran pemerintah selaku penjamin kesempatan dan perlakuan yang sama dalam hubungan kerja. Pemerintah ditekankan untuk menjadi pengawas bagi para penyedia lapangan kerja. Bentuk pengawasan dapat dilakukan dengan membuat peraturan pemerintah ataupun pengawasan langsung ke pengusaha atau perusahaan.
Peran selanjutnya yang dipegang oleh pemerintah adalah sebagai perencana dan penydia informasi ketenagakerjaan. Disini pemerintah diharapkan dapat menjadi penggagas ide mengenai pemetaan/distribusi tenaga kerja. Saya rasa pemerintah saat ini, kurang mampu memegang peran seperti ini. Menurut pengamatan saya, kementrian tenaga kerja dan transmigrasi –sebagai pemegang mandat ini- beserta kementerian lainnya masih kebingungan dengan tugas dan fungsi sebagai perencana pembangunan.
Pemerintah –baik daerah ataupun pusat- memiliki blueprint akan perencanaan tenaga kerja. Dan, urbanisasi secara besar-besaran merupakan salah satu bentuk kegagalan yang nyata. Pemerintah -terutama di daerah- tidak mampu menyediakan lapangan kerja. Pasal 7 Undang-undang ini menegaskan bahwa pemerintah menetapkan kebijakan dan menyusun perencanaan tenaga kerja. Namun, dari pengamatan kasat mata saja sudah dapat kita saksikan berapa juta orang di pedesaan ataupun kota kecil yang mengeluh kurang tersedianya lapangan kerja bagi mereka. Pertanian, peternakan ataupun kelautan mestinya menjadi ladang pencetak uang yang ideal bagi mereka.
Namun, pada kenyataannya sektor ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah daerah. Misalnya saja pada kenyataan yang terjadi di daerah pantura seperti Indramyu, Cirebon, Tegal dan Brebes. Empat kota ini merupakan kota yang terletak di pesisir pantai utara. Dan mestinya laut dapat menjadi lahan ideal untuk mencari nafkah. Namun, tidak sedikit dari mereka yang putus asa dan memilih untuk pergi ke kota besar seperti Bandung atau Jakarta untuk mencari nafkah.
Padahal pemerintah pusat sudah mengalirkan dana yang cukup besar untuk pembangunan di daerah. Misalnya saja pada proyek PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) ataupun KUR (Kredit Usaha Rakyat). Dua program ini sudah semestinya menjadi katalis pembangunan di daerah. Dengan digelontorkannya dana pinjaman yang tidak sedikit dari PNPM-Mandiri, seharusnya sudah ada titik cerah bagi pemberdayaan masyarakat di daerah. Dengan digelontorkannya dana yang tidak sedikit juga dari KUR, seharusnya rakyat tidak kesulitan lagi untuk memulai berdikari di daerah mereka sendiri.
Untuk Pelatihan Kerja (Bab V, pasal 9 – 30), nampaknya sudah ada itikad baik dari pemerintah yaitu dengan didirikannya Balai Latihan Kerja yang tersebar di kota besar ataupun di daerah. Salah satunya adalah Balai Latihan Kerja Daerah (BLKD) Jakarta yang berlokasi di Jalan Karet Pasar Baru Barat V No. 23, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Berdasarkan data-data yang didapat melalui website resmi BLKD Jakarta (http://blkd.webs.com) nampak antusias masyarakat cukup besar. Antara lain dengan jumlah peserta latihan kerja yang menembus angka 100 orang. Dan program kerja yang ditawarkan pun cukup menggiurkan. Serta terjalinnya kerja sama yang baik antara BLKD dengan lebih dari 50 penyedia lapangan kerja. Penyelenggaran BLK ini sendiri merupakan amanat dari undang-undang ketenagakerjaan, pasal 9 sampai dengan pasal 30.

Bagian selanjutnya yang juga merupakan salah satu celah dari undang-undang ini adalah penggunaan tenaga kerja asing (Bab 8, pasal 42 – 49). Secara umum, bab 8 ini menjelaskan bahwa tenaga asing boleh bekerja di Indonesia untuk jabatan tertentu dalam waktu tertentu, namun dilarang keras duduk di jabatan personalia. Sungguh ironis sekali, karena justru ini merupakan blunder tersendiri bagi negara kita. Pasal ini justru dijadikan landasan yang empuk bagi perusahaan multinasional yang ingin membuka cabang di Indonesia. Dan dengan adanya kelonggaran penempatan tenaga kerja asing, perusahaan multinasional ini justru tidak merelakan posisi Chief Excecutive Officer mereka diraih oleh bangsa pribumi (red. Warga negara Indonesia). Misalnya Yoon-Woo Lee (CEO Samsung Indonesia), Miki Yamamoto (CEO Astra Honda Indonesia) dan Bob McDougall (CEO Nokia Indonesia). Dan beberapa jajaran direksi dari tiga perusahaan tersebut yang masih didominasi oleh tenaga kerja asing.
Ironis dan cukup menyedihkan. Atasan didominasi oleh tenaga kerja asing, sementara karyawan/buruh/bawahan didominasi oleh bangsa pribumi. Hal ini memang semakin menggambarkan pola neo-kolonialisasi di sektor ekonomi. Apa bedanya dengan zaman penjajahan dulu, dimana rakyat kita hanya bekerja sebagai buruh tani, buruh tanam paksa ataupun buruh pembangunan jalan Anyer-Panarukan. Pemerintah selalu bersembunyi dibalik kata-kata “percepatan pertumbuhan ekonomi dengan modal investor asing” untuk menutupi kelemahan ini.
Pola hubungan kerja yang ditawarkan undang-undang ini cukup menarik dan menimbulkan sedikit –atau bahkan banyak- polemik. Pasal 50 – 66 menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga hubungan kerja yang dapat digunakan. Hubungan pertama adalah kontrak, pegawai tetap ataupun pelimpahan pekerjaan pada pihak ketiga (tender dan outsourcing).

Saat ini kontrak sedang menjadi tren tersendiri dalam dunia pekerjaan dan kerap disalahgunakan. Penyalahgunaan sistem kontrak –sekaligus penggunaan tenaga kerja asing dapat kita saksikan pada kasus pemogokan pilot dan awak kabin Garuda Indonesia akhir Juli lalu. Pilot asing dipekerjakan dengan sistem kontrak selama satu tahun dan bisa diperpanjang. Dalam maskapai penerbangan, profesi pilot tidak dapat dikategorikan sebagai jenis pekerjaan kontrak (pasal 59 ayat 1). Dan terang saja pilot lokal melancarkan aksi mogok kerja karena pihak manajemen telah mempraktekkan sistem yang keliru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar