Halaman

Kamis, 13 Oktober 2011

Konflik Perbatasan: Penyakit Lama yang Tak Kunjung Sembuh

      Akhir-akhir ini pemberitaan di TVOne dan MetroTV selalu tentang dua hal, yaitu Reshuffle Kabinet dan Konflk Perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Berita pertama cukup menarik untuk dibahas, tapi kayanya perlu analisa yang lebih dalam lagi. Tapi malam ini saya bersemangat untuk membahas berita yang kedua yaitu tentang "konflik" perbatasan.
      Diberitakan bahwa Malaysia telah "mencaplok" -kata-kata yang makin familiar dengan pemberitaan- kawasan perbatasan. Daerah yang menjadi sengketa adalah Camar Bulan dan Tanjung Datu. Kedua stasiun tv tersebut bersikukuh bahwa kedua daerah tersebut telah dicaplok Malaysia tapi pemerintah -Menkopolhukam dan TNI- punya pandangan lain. tidak ada daerah kita yang dicaplok oleh Malaysia.
Menurut pandangan saya, justru yang menjadi masalah bukan RI dengan Malaysia tapi pemerintah dengan media massa. Keduanya bersikukuh dengan pandangan mereka. Dan keduanya -entah oleh siapa- telah DIADU DOMBA.
      Isu pertikaian negara kita dengan Malaysia memang sangat renyah dan nikmat bagi media massa. Masih ingat dengan kasus Sipadan-Ligitan, Ambalat, Angklung, Batik ataupun lagu Rasa Sayange?? Kesemua itu pernah menjadi topik hangat di media massa. Untuk memenangkan pertikaian tersebut, kita memang sudah membuat beberapa langkah strategis seperti mendafarkan batik sebagai warisan budaya kita. Dan baru-baru ini Indonesia telah membuat rekor dunia dengan mencatatkan "bermain angklung terbanyak se dunia", kalo saya tidak salah di London dan dikomandoi oleh maestro angklung, Kang Udjo.
      Konflik perbatasan ataupun materi pertikaian lainnya sebaiknya tidak perlu diperuncing lagi. Jangan sampai isu ini malah memecah belah kita. Biarkan para ahli menyelesaikan masalah ini. Toh sudah ada pengadilan internasional yang akan memediasi permasalahan ini. Yang perlu ditegaskan adalah : Seberapa Pedulikah Kita Pada Kekayaan Bangsa?????
      Menurut saya kasus batik merupakan hal yang paling memalukan bagi bangsa kita. Sebelum ada insiden perebutan batik, batik hanyalah pakaian yang dipakai khusus ke acara hajatan!! Dan pemakaian batik pun hanya dikhususkan bagi para "orang tua" saja. Anak muda enggan atau bahkan malu pakai batik. Tapi setelah batik "direbut" oleh Malaysia dan diberitakan secara luas dan intens oleh media massa, semua orang mendadak cinta batik. Anak muda pun langsung peduli pada batik. Para desainer tanah air pun langsung meluncurkan batik kombinasi rancangan mereka. Sentra batik langsung ramai dikunjungi.
  Haduh...... benar-benar menyedihkan. Apakah harus selalu seperti ini??? Apa harus ada "perebutan/pencaplokan/klaim"  kekayaan bangsa lantas kita sadar bahwa khazanah itu ada dan langsung mencintainya?? Seandainya Malaysia tidak mengklaim batik, apakah kita akan mencintai batik??
Kasus perbatasan ini juga sebenarnya pekerjaan rumah bagi pemerintah dan warga negara Indonesia. Kalo diamati dari pemberitaan media massa, nampak terjadi perbedaan yang cukup mencolok antara kawasan perbatasan di kedua negara. Di perbatasan Malaysia, sudah tersedia sekolah beserta asrama yang sangat memadai. Di kawasan Indonesia??haha...jangankan sekolah, listrikpun kabarnya tidak ada. Di kawasan Malaysia juga sudah tersedia resort dan turis-turis pun berdatangan. Lalu, seandainya sengketa perbatasan itu berakhir, apa lantas kita baru peduli pada daerah perbatasan??
      Sayang sekali kalau sikap reaktif ini tak kunjung sembuh. Saat ini, mari kita rawat dan cintai khazanah budaya Indonesia tanpa harus melewati sengketa dengan Malaysia. Janganlah hubungan kita dengan Malaysia rusak hanya karena kita asyik menikmati budaya lain -melupakan budaya sendiri-. Lupakan modern dance, rap, starbucks, boyband/girlband Korea2an ataupun budaya luar lain. Mari kita lestarika Jaipong, Keroncong, Gamelan, Kecapi, Seruling -dan artefak budaya lain-..... Kalo bukan kita yang memulai, SIAPA LAGI COYYY.......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar