Halaman

Kamis, 15 Desember 2011

Krisis Public Relations (Chapter 2)


Ternyata krisis tidak hanya berlangsung seketika. Krisis juga dapat terjadi secara perlahan-lahan. Berdasarkan waktu terjadinya krisis, Seymour dan Moore (dalam Tench dan Yeomans, 2006) memberikan metapora yang unik, yaitu Cobra Crises (krisis kobra) dan Phyton Crises (krisis piton). Ular kobra merupakan binatang yang sangat mematikan. Bisa yang dihasilkan mampu membunuh siapa saja dalam hitungan detik. Dan itulah yang dimaksud dengan krisis kobra. Krisis yang datang tidak terduga dan membuat panik perusahaan. Berbeda dengan krisis piton, krisis ini datang secara perlahan-lahan. Seperti layaknya ulat piton yang dengan sabar melilit mangsanya. Bahkan lilitan ulat piton ini – perlahan tapi pasti- mampu meremukkan tulang rusuk manusia. Fenomena berkembangnya dunia teknologi informasi setidaknya memberikan dampak bagi perusahaan. Teknologi informasi yang menjanjikan kemudahan dapat menjadi krisis bagi perusahaan yang tidak mampu beradaptasi. Dan hasilnya dapat kita  lihat pada perusahaan-perusahaan yang mengadopsi pelayanan berbasis IT seperti perbankan misalnya.
Krisis yang melanda sebuah perusahaan dapat ditangani melalui beberapa upaya terintegrasi yang disebut manajemen krisis. Baines, Egan dan Jefkins (2004) mendefinisikan manajemen krisis sebagai perencanaan untuk menghadapi berbagai situasi yang tidak dapat diperkirakan kedatangannya. Memang benar, seperti yang sudah saya kemukakan sebelumnya bahwa salah satu sifat krisis adalah unpredictable. Namun, bukan suatu hal yang tidak mungkin bahwa perencanaan dapat dilakukan pada sesuatu yang sulit diperkirakan kapan munculnya.
Hal ini pun senada dengan Tench dan Yeomans (2006) yang menekankan kunci keberhasilan manajemen krisis adalah ketersiapan (preparedness). Persiapan krisis dapat dilakukan dengan mengidentifikasi beberapa perkara yang dapat menimbulkan krisis. Misalnya saja isu kesejahteraan yang sedang melanda di beberapa kawasan di Jawa Barat. Beberapa waktu lalu rombongan buruh mendatangi kantor Bupati Cimahi meminta kenaikan UMK (Upah Minimum Kota). Perusahaan mestinya melakukan persiapan untuk mengantisipasi kenaikan UMK tersebut. Komunikasi yang intensif dan berkesinambungan dapat meningkatkan kewaspadaan perusahaan pada isu kesejahteraan tersebut.
 Krisis dapat terjadi dalam beberapa fase. Kasali (1994) membagi krisis ke dalam empat fase, yaitu (1) Tahap Prodormal, (2) Tahap Akut, (3) Tahap Kronik dan (4) Tahap Resolusi. Tahap prodromal seringkali diabaikan oleh perusahaan. Padahal pada tahap ini beberapa indikasi kemunculan krisis sudah nyata. Oleh karena itu tahap ini juga sering disebut sebagai warning stage. Namun, jika manajemen tidak peka terhadap sinyal-sinyal kemunculan krisis, maka tahap ini juga akan menjadi turning point dan krisis akan bergeser ke tahap yang lebih serius, tahap akut. Para pakar krisis umumnya sependapat bahwa sekalipun krisis pada tahap ini sangat ringan, pemecahan dini secara tuntas sangat penting.
Tahap akut merupakan tahap terjadinya krisis. Pada kasus Freeport, tahap ini ditandai dengan dimulainya demonstrasi karyawan untuk menuntut kenaikan upah. Salah satu kesulitan besar dalam menghadapi krisis  pada tahap ini adalah intensitas dan kecepatan serangan yang datang dari berbagai pihak. Kecepatan ditentukan oleh jenis krisis yang menimpa perusahaan, sedangkan intensitas ditentukan oleh kompleksnya permasalahan.
Tahap selanjutnya, tahap kronis, yang seringkali disebut sebagai clean up phase atau the post mortem. Pada tahap ini perusahaan mulai beradaptasi terhadap krisis. Misalnya saja perubahan structural, penggantian pemilik, suntikan modal baru ataupun kenaikan upah karyawan. Pada tahap ini media massa mulai jenuh memberitakan kondisi perusahaan.
Tahap Resolusi merupakan tahap penyembuhan. Meski bencana besar telah berlalu, seorang manajer krisis tetap perlu berhati-hati. Tahap ini tidak berarti krisis sudah berakhir sepenuhnya. Krisis umumnya berbentuk seperti siklus yang akan membawa kembali pada keadaan semula.
Lain lagi Fearn-Banks (dalam Tench dan Yeomans, 2006) yang membagi krisis ke dalam lima tahap (Five stages of a crisis), yaitu (1) Deteksi (detection), (2) Persiapan/pencegahan (preparation/prevention), (3) Pertahanan/adaptasi (containment), (4) Pemulihan (recovery) dan (5) Pembelajaran (learning). Pada tahap pertama seorang manajer krisis memantau beberapa indikasi yang dapat menimbulkan krisis. Langkah yang dilakukan dengan cara memantau isu yang berkembang diantara publik perusahaan. Misalnya saja isu kesejahteraan di antara karyawan, kenaikan tariff dasar listrik yang akan dilakukan pemerintah, ataupun beberapa keluhan pelanggan.
Tahap persiapan merupakan tahap perencanaan penanganan krisis. Manajer krisis membuat satu kebijakan untuk menghadapi krisis. Seperti menunjuk seorang juru bicara, membentuk tim khusus untuk menangani sumber pemberitaan media ataupun membuat sebuah buku pedoman menangani krisis. Tahap selanjutnya, containment, menandakan krisis sedang berlangsung. Pada tahap ini perusahaan mengimplementasikan berbagai perencanaan yang telah dilakukan. Melakukan product recall, konferensi pers, berunding dengan karyawan yang demonstrasi ataupun langkah lainnya. Tahap pemulihan ditandai dengan kembalinya perusahaan pada aktivitas normal mereka. Penjualan sudah mulai membaik, karyawan yang semula mogok pun sudah kembali bekerja. Lalu selanjutnya krisis yang sudah terjadi sebaiknya dilakukan evaluasi serta pembelajaran. Tahap pembelajaran mengharuskan perusahaan mengambil pelajaran dari krisis yang sudah dilalui. Pembelajaran dilakukan agar perusahaan siap apabila krisis yang sama terjadi kembali.

Selasa, 06 Desember 2011

PHK : Antara Realita dan Undang-undang (Chapter 2)


PHK: Tinjauan Undang-Undang
Kasus PHK memang seringkali menghiasi hubungan industrial antara manajemen dengan karyawan. Namun, PHK tidak dibenarkan untuk sering dilakukan oleh perusahaan. PHK bersifat ‘makruh’, artinya boleh saja dilakukan tapi tidak dianjurkan. Melalui Undang-undang nomor 13 tahun 2003, pemerintah telah melindungi hak-hak pekerja termasuk Pemutusan Hubungan Kerja.
Bab 12 undang-undang ini dikhususkan berbicara mengenai pemutusan hubungan kerja. Aturan main sudah dijelaskan secara rinci pada bab ini. Misalnya ruang lingkup PHK, yaitu pada badan usaha yang berbadan hukum atau tidak (pasal 150). Dijelaskan lebih rinci lagi kepemilikan badan hukum tersebut serta terdapat ketentuan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah dan imbalan dalam bentuk lain. Itu artinya PHK berlaku pada ikatan kerjasama antara majikan dengan karyawan. Ikatan kerjasama antara majikan dengan karyawan tergambar jelas pada kata membayar upah dan mempekerjakan.
Namun, PHK sangat tidak dianjurkan. Pasal 151 menerangkan dengan jelas bahwa pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat/buruh, buruh dan pemerintah dengan segala upaya mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. Benar-benar rangkaian kata yang manis untuk melindungi kelangsungan hidup para pekerja. Di negara yang angka pengangguran cukup tinggi –seperti Indonesia- PHK memang menjadi hal yang sangat menakutkan. Misalnya saja pada krisis moneter yang melanda Indonesia. Beberapa perusahaan harus merumahkan sebagian besar karyawannya lantaran ketidakmampuan bertahanan hidup di nuansa krisis.
Namun, apakah benar upaya pencegahan PHK telah terwujud dalam kehidupan nyata? Majikan, karyawan dan pemerintah merupakan ‘tiga serangkai’ yang terlibat dalam lingkup ketenagakerjaan ini. Karyawan tidak memiliki peran yang cukup besar dalam realisasi pasal ini. Karena PHK merupakan kuasa perusahaan serta pengawasan pemerintah.
Pasal 153-155 dengan sangat jelas memberi batasan mengenai PHK. Namun, aksi Freeport memecat Sudiro karena telah memprakarsai aksi mogok karyawan tidak bisa diterima begitu saja. Upaya Sudiro memperjuangkan kesejahteraan karyawan Freeport jelas tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan yang disebut dalam pasal 158. Sudiro justru sedang melakukan aktivitas serikat pekerja.
Kasus Sudiro ini seharusnya diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial atau Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi seperti yang ditempuh karyawan Bakrie Life. Kedua lembaga ini memang sudah seharusnya memposisikan diri mereka sebagai mediator pada kasus-kasus hubungan industrial. Tapi tidak terjadi pada kasus Sudiro.
Sudiro dipecat secara sepihak oleh perusahaan. Aktivitas Sudiro dianggap memprovokasi karyawan lain untuk menuntut kesejahteraan. Dan memang aksi Sudiro ini cukup berhasil. Sudiro telah berhasil membangunkan naga tidur. Semua karyawan Freeport (non-staff) pada akhirnya mogok kerja menuntut kenaikan upah. Dan sampai saat ini aksi masalah upah ini belum mencapai titik temu.
Namun, pemecatan sepihak ini memang telah mencoreng hubungan industrial di Indonesia. Sudiro tidak melakukan satu hal pun yang tercatat pada pasal 158 ayat 1. Dan ini tidak semestinya terjadi di negara hukum seperti Indonesia.
Berbeda dengan kasus Mandala yang terpaksa mem-PHK sebagian besar karyawan karena masalah keuangan. Hal ini memang lumrah dan merupakan jalan terbaik bagi kedua belah pihak. Pasal 164 ayat 1 menerangkan bahwa perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja karena perusahaan mengalami kerugian. Dan memang itulah yang terjadi pada Mandala, pemutusan hubungan kerja damai.
Kasus Bakrie Life merupakan kasus yang harusnya dijadikan para legislatif untuk membahas ulang undang-undang ketenagakerjaan. Pasal 156 ayat 1 sampai 5 membahas secara rinci perhitungan upah dan penghargaan masa kerja yang harus dibayarkan kepada karyawan. Tapi tidak ada satu ayatpun yang menegaskan bahwa pesangon harus dibayar tunai. Kata diwajibkan membayar pada ayat 1 tidak menerangkan bahwa pesangon harus dibayar tunai. Membayar bisa menjadi ambigu mengingat ragam alat pembayaran yang biasa dilakukan oleh kita. Alat pembayaran yang berlaku di masyarakat ada beragam;  uang, cek, giro, transfer dan lain-lain.
Pengadilan hubungan industrial menyalahkan Bakrie Life dengan dalil surat hutang hanya berlaku bagi hubungan perusahaan dengan investor. Pengadilan hubungan industrial tidak menyalahkan Bakrie Life sepenuhnya karena tidak ada satupun ayat yang dilanggar. Oleh karena itu, kasus Bakrie Life sebaiknya dijadikan acuan untuk mengulas undang-undang ini.
Ketiga kasus yang saya bawa hanyalah segelintir dari sekian banyak kasus PHK ataupun hubungan industrial lain yang terjadi di Indonesia. Gresik merupakan salah satu kota dengan kasus PHK yang cukup tinggi, 110 kasus terjadi tiap tahun[1]. Berdasarkan data Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Gresik angka kasus PHK perorangan mencapai angka 90 hingga 110 per tahun mulai tahun 2008.
Peran Public Relations
Public relations dalam perusahaan memegang peran yang cukup vital dalam pembentukan hubungan industrial harmonis. Karyawan merupakan salah satu publik dalam kegiatan public relations. Dan public relations bertanggung jawab atas segala komunikasi yang terjalin antara perusahaan (manajemen) dengan karyawan.
Moore (2005) menyatakan bahwa landasan bagi hubungan karyawan yang baik adalah sebagai berikut:
1)      Memberikan pekerjaan yang teratur,
2)      Kondisi pekerjaan yang baik,
3)      Upah memadai,
4)      Kesempatan memperoleh kemajuan,
5)      Penghargaan terhadap prestasi,
6)      Pengawasan yang baik,
7)      Kesempatan mengemukakan pendapat.
Landasan-landasan tersebut dapat ditempuh dengan sistem manajemen terbuka (open management). Dengan sistem manajemen terbuka, arus lalu lintas komunikasi antara karyawan dengan pimpinan akan lebih padat dan lancar. Pihak pimpinan tidak boleh lagi memandang karyawan sebagai mesin/robot yang hanya cukup dengan perintah, tapi juga harus diperlakukan sebagai manusia yang memiliki kehendak, kepuasan kerja, keluhan dan lain-lain.
Ruslan (2006) menyatakan bahwa hubungan kepegawaian (employee relations) tidak dilihat dalam pengertian yang sempit, yaitu sama dengan hubungan industrial yang hanya menekankan pada proses “produksi” dan upah. Hubungan tersebut lebih dipengaruhi oleh hubungan komunikasi internal antara karyawan dengan karyawan, dan hubungan antara karyawan dengan manajemen.
Dengan diberlakukannya manajemen terbuka, produktivitas perusahaan akan meningkat –secara kualitas ataupun kuantitas. Pencapaian produktivitas itu bukan hanya merupakan hasil kerja keras dari pihak pekerjanya, tetapi juga berkaitan dengan hasil motivasi dan prestasi para pekerja yang bersedia dengan penuh semangat, memiliki kebanggaan, berdisiplin tinggi serta mampu mencapai pencapaian kerja yang efektif dan efisien.
Menurut Alvie Smith (dalam Cutlip, Center dan Broom : 2009) ada dua faktor yang mempengaruhi komunikasi internal dengan karyawan dan menambah rasa hormat manajemen terhadap salah satu fungsi humas:
1)      Manfaat dari pemahaman, teamwork, dan komitmen karyawan dalam mencapai hasil yang diinginkan. Aspek positif perilaku karyawan ini sangat dipengaruhi oleh komunikasi internal yang efektif di seluruh organisasi.
2)      Kebutuhan untuk membangun jaringan komunikasi manajer yang kuat, yang membuat setiap supervisor di semua level dapat melakukan komunikasi secara efektif dengan karyawannya. Kebutuhan ini lebih dari sekadar menciptakan informasi yang berhubungan dengan pekerjaan tetapi juga harus memuat informasi bisnis dan isu publik yang mempengaruhi organisasi secara keseluruhan.
Bentuk komunikasi dua arah yang terjalin secara efektif dipercaya dapat membebaskan karyawan untuk menyampaikan keinginan, kebutuhan serta keluhan. Dan komunikasi dua arah pun dapat menjadi saluran yang tepat bagi perusahaan untuk menyampaikan visi, misi dan beberapa kebijakan. Dengan cara ini maka kebutuhan karyawan dan kebutuhan manajemen akan menemukan titik terang demi efesiensi dan pencapaian tujuan organisasi.

Komunikasi Internal : Media Pembinaan Hubungan Baik dengan Karyawan
Seperti yang sudah saya jelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa industrial peace dapat dicapai dengan pembinaan hubungan baik antara pimpinan dengan karyawan,  yaitu dengan pemberlakuan manajemen terbuka. Komunikasi internal perusahaan dapat dibagi menjadi dua, yaitu komunikasi dari manajemen kepada karyawan dan komunikasi karyawan kepada manajemen.
Komunikasi internal bentuk pertama dapat berupa pidato, sistem informasi melalui sms ataupun internet, rapat manajemen-karyawan, program televisi internal, majalah karyawan, papan pengumuman dan berbagai bentuk lainnya. Masing-masing tentu memiliki kelebihan dan kekurangan. Bentuk komunikasi lisan –pidato, rapat- lebih efektif untuk menyampaikan informasi yang cepat basi dan komunikasi cetak untuk menyampaikan informasi yang lebih komplek dan padat –seperti penyebaran budaya organisasi-.
Komunikasi dari karyawan kepada manajemen dapat berupa penelitian sikap karyawan, keluhan karyawan, partisipasi karyawan dalam acara-acara perusahaan ataupun percakapan informal dengan pengawas/pimpinan. Suatu kebijaksanaan manajemen terbuka memberi kesempatan kepada karyawan  untuk membicarakan kebijaksanaan  dan pelaksanaan perusahaan dengan manajemen. Keinginan dari sebagian pengawas/pimpinan untuk mendengarkan karyawan akan meningkatkan komunikasi dan pengertian.
Bentuk komunikasi yang dijalankan tentunya akan beragama pada setiap organisasi. Hal ini bergantung pada budaya organisasi tersebut. Bagi organisasi yang biasa menjalankan kegiatan operasionalnya dengan manajemen tertutup tentu harus merubah secara radikal budaya tersebut. Dan perubahan ini tentu bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan.
Budaya organisasi merupakan hal yang membedakan antara suatu organisasi dengan organisasi lainnya. Budaya organisasi mendefinisikan nilai dan norma  yang dipakai oleh pembuat  keputusan di dalam organiasi. Pandangan dan budaya organisasi mendefinisikan rentang tanggapan yang tersedia dalam situasi isu tertentu. meskipun seringkali tidak dibicarakan, budaya organisasi sangat mempengaruhi bagaimana perilaku didefinisikan dalam organisasi.
  



Daftar Pustaka
Moore, Frazier. 2005. Humas : Membangun Citra dengan Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Ruslan, Rosady. 2006. Manajemen Public Relations dan Media Komunikasi : Konsep dan Aplikasi. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Cutlip, Center dan Broom. 2009. Effective Public Relations. Jakarta : Prenada Media Grup.


[1] http://surabaya.tribunnews.com/m/index.php/2011/10/16/110-kasus-phk-setiap-tahun-di-gresik

PHK : Antara Realita dan Undang-undang (Chapter 1)


Pemecatan Sudiro dan Kasus PHK Lainnya
Sudiro, merupakan salah satu penggerak demonstrasi karyawan PT. Freeport Indonesia (Freeport) yang akhirnya di PHK. Tanpa alasan yang jelas, tiba-tiba saja manajemen Freeport memecat Sudiro. Aksi ini pun telah menyisakan pertanyaan yang sampai sekarang belum terjawab. Apakah Sudiro dipecat lantaran memprakarsai gerakan demonstrasi karyawan Freeport?
Sudiro yang sejak awal terus-menerus mempertanyakan peningkatan kesejahteraan kepada pihak manajemen telah menjadi pahlawan tanpa tanda jasa bagi karyawan Freeport lainnya. Empat Juli 2011 merupakan tonggak perjuangan karyawan Freeport (non-staff) dalam memperjuangkan hak kesejahteraan mereka –sekaligus memperjuangkan nasib Sudiro-.
Kasus Sudiro ini bukanlah satu-satunya kasus PHK yang terjadi di tahun 2011. Tiga belas Januari 2011, maskapai penerbangan Mandala menghentikan operasinya karena lilitan utang. Maskapai ini terlilit utang mencapai Rp. 2,45 triliun kepada kreditur konkruen yang jumlahnya ratusan dan utang ke kreditur separatis, Bank Victoria sejumlah Rp. 54,14 Miliar[1].
Lilitan utang ini memaksa PT. Mandala Airlines untuk “merumahkan” sejumlah karyawannya. Tentu saja pemecatan ini masih bisa diterima oleh karyawan lantaran alasan Mandala memecat ratusan karyawan adalah ketidakmampuan secara finansial.
Namun, ternyata permasalahan Mandala tidak berhenti begitu saja. Kerelaan karyawan untuk dirumahkan ternyata tidak membuat Mandala lepas dari masalah. Masalah terbesar justru datang dari konsumen. Konsumen yang sudah terlanjur membeli tiket Mandala meminta ganti rugi melalui refund.
Dan inilah yang membuat manajemen Mandala pusing tujuh keliling. Selain memikirkan bagaimana caranya untuk membayar hutang, Mandala juga harus memikirkan proses refund kepada konsumen. Alhasil, manajemen Mandala meminta waktu 45 hari –sejak penghentian operasional- untuk mengembalikan uang tiket konsumen.
Kasus PHK PT. Asuransi Jiwa Bakrie (Bakrie Life) lebih menarik lagi. Mei 2011 perusahaan ini terpaksa mem-PHK 80 karyawan lantaran ketidakmampuan finansial. Perusahaan ini tidak mampu membayar produk asuransi berbasis investasi dengan nama Diamond Investa sebesar Rp. 360 Milliar. Sesuai SKB, manajemen Bakrie Life menawarkan skema pengembalian dana pokok sebesar 25% di 2010, 25% di 2011 dan sisanya 50% di 2012. Karena ini perusahaan tidak lagi memiliki uang tunai.
Dan 80 karyawan tersebut terkena cipratan kesialan Bakrie Life, mereka harus menerima pesangon berupa surat hutang[2]. Manajemen berjanji akan membayarkan surat hutang itu dengan uang tunai jika telah memiliki dana tunai. Merasa diperlakukan tidak adil, karyawan Bakrie Life mengajukan kasus ini ke Pengadilan Hubungan Industrial. Jalan ini pun ditempuh setelah serikat pekerja  mengirimkan surat beberapa kali kepada pihak manajemen, namun tidak ada tanggapan sedikitpun. Akibat kasus ini, Bakrie Life terancam dicabut izin usaha oleh Bapepam-LK.

PHK: Tinjauan Undang-Undang
Kasus PHK memang seringkali menghiasi hubungan industrial antara manajemen dengan karyawan. Namun, PHK tidak dibenarkan untuk sering dilakukan oleh perusahaan. PHK bersifat ‘makruh’, artinya boleh saja dilakukan tapi tidak dianjurkan. Melalui Undang-undang nomor 13 tahun 2003, pemerintah telah melindungi hak-hak pekerja termasuk Pemutusan Hubungan Kerja.
Bab 12 undang-undang ini dikhususkan berbicara mengenai pemutusan hubungan kerja. Aturan main sudah dijelaskan secara rinci pada bab ini. Misalnya ruang lingkup PHK, yaitu pada badan usaha yang berbadan hukum atau tidak (pasal 150). Dijelaskan lebih rinci lagi kepemilikan badan hukum tersebut serta terdapat ketentuan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah dan imbalan dalam bentuk lain. Itu artinya PHK berlaku pada ikatan kerjasama antara majikan dengan karyawan. Ikatan kerjasama antara majikan dengan karyawan tergambar jelas pada kata membayar upah dan mempekerjakan.
Namun, PHK sangat tidak dianjurkan. Pasal 151 menerangkan dengan jelas bahwa pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat/buruh, buruh dan pemerintah dengan segala upaya mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. Benar-benar rangkaian kata yang manis untuk melindungi kelangsungan hidup para pekerja. Di negara yang angka pengangguran cukup tinggi –seperti Indonesia- PHK memang menjadi hal yang sangat menakutkan. Misalnya saja pada krisis moneter yang melanda Indonesia. Beberapa perusahaan harus merumahkan sebagian besar karyawannya lantaran ketidakmampuan bertahanan hidup di nuansa krisis.
Namun, apakah benar upaya pencegahan PHK telah terwujud dalam kehidupan nyata? Majikan, karyawan dan pemerintah merupakan ‘tiga serangkai’ yang terlibat dalam lingkup ketenagakerjaan ini. Karyawan tidak memiliki peran yang cukup besar dalam realisasi pasal ini. Karena PHK merupakan kuasa perusahaan serta pengawasan pemerintah.
Pasal 153-155 dengan sangat jelas memberi batasan mengenai PHK. Namun, aksi Freeport memecat Sudiro karena telah memprakarsai aksi mogok karyawan tidak bisa diterima begitu saja. Upaya Sudiro memperjuangkan kesejahteraan karyawan Freeport jelas tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan yang disebut dalam pasal 158. Sudiro justru sedang melakukan aktivitas serikat pekerja.
Kasus Sudiro ini seharusnya diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial atau Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi seperti yang ditempuh karyawan Bakrie Life. Kedua lembaga ini memang sudah seharusnya memposisikan diri mereka sebagai mediator pada kasus-kasus hubungan industrial. Tapi tidak terjadi pada kasus Sudiro.
Sudiro dipecat secara sepihak oleh perusahaan. Aktivitas Sudiro dianggap memprovokasi karyawan lain untuk menuntut kesejahteraan. Dan memang aksi Sudiro ini cukup berhasil. Sudiro telah berhasil membangunkan naga tidur. Semua karyawan Freeport (non-staff) pada akhirnya mogok kerja menuntut kenaikan upah. Dan sampai saat ini aksi masalah upah ini belum mencapai titik temu.
Namun, pemecatan sepihak ini memang telah mencoreng hubungan industrial di Indonesia. Sudiro tidak melakukan satu hal pun yang tercatat pada pasal 158 ayat 1. Dan ini tidak semestinya terjadi di negara hukum seperti Indonesia.
Berbeda dengan kasus Mandala yang terpaksa mem-PHK sebagian besar karyawan karena masalah keuangan. Hal ini memang lumrah dan merupakan jalan terbaik bagi kedua belah pihak. Pasal 164 ayat 1 menerangkan bahwa perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja karena perusahaan mengalami kerugian. Dan memang itulah yang terjadi pada Mandala, pemutusan hubungan kerja damai.
Kasus Bakrie Life merupakan kasus yang harusnya dijadikan para legislatif untuk membahas ulang undang-undang ketenagakerjaan. Pasal 156 ayat 1 sampai 5 membahas secara rinci perhitungan upah dan penghargaan masa kerja yang harus dibayarkan kepada karyawan. Tapi tidak ada satu ayatpun yang menegaskan bahwa pesangon harus dibayar tunai. Kata diwajibkan membayar pada ayat 1 tidak menerangkan bahwa pesangon harus dibayar tunai. Membayar bisa menjadi ambigu mengingat ragam alat pembayaran yang biasa dilakukan oleh kita. Alat pembayaran yang berlaku di masyarakat ada beragam;  uang, cek, giro, transfer dan lain-lain.
Pengadilan hubungan industrial menyalahkan Bakrie Life dengan dalil surat hutang hanya berlaku bagi hubungan perusahaan dengan investor. Pengadilan hubungan industrial tidak menyalahkan Bakrie Life sepenuhnya karena tidak ada satupun ayat yang dilanggar. Oleh karena itu, kasus Bakrie Life sebaiknya dijadikan acuan untuk mengulas undang-undang ini.
Ketiga kasus yang saya bawa hanyalah segelintir dari sekian banyak kasus PHK ataupun hubungan industrial lain yang terjadi di Indonesia. Gresik merupakan salah satu kota dengan kasus PHK yang cukup tinggi, 110 kasus terjadi tiap tahun[3]. Berdasarkan data Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Gresik angka kasus PHK perorangan mencapai angka 90 hingga 110 per tahun mulai tahun 2008.


[1] http://m.detik.com/read/2011/04/10/182158/1612880/kasus-phk-karyawan-mandala-buat-konsumen-makin-pesimis
[2] http://m.detik.com/read/2011/05/19/121451//1642374/5/bayar-pesangon-pakai-surat-utang
[3] http://surabaya.tribunnews.com/m/index.php/2011/10/16/110-kasus-phk-setiap-tahun-di-gresik

Krisis Public Relations


Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan krisis sebagai keadaan yang berbahaya; parah sekali, keadaan yang genting serta keadaan suram. Kata krisis memang identik dengan sesuatu yang tidak menyenangkan. Krisis moneter telah menyebabkan negeri ini mengalami kebangkrutan. Pemutusan hubungan kerja terjadi dimana-mana, perusahaan-perusahaan besar yang diharapkan mampu menjadi tumpuan ekonomi ternyata malah banyak yang bangkrut. Tapi krisis ini justru menjadi pemicu munculnya ‘Indonesia Baru’. Masyarakat menjadi tergerak untuk melepaskan keresahan mereka akan ketidakpuasan rezim Orde Baru.
Krisis ekonomi global, krisis perbankan, krisis moral ataupun krisis lainnya memang menyiratkan sesuatu yang buruk dan tidak direncanakan. Krisis juga seringkali melanda perusahaan –besar ataupun kecil-. Misalnya saja kasus Tylenol yang menimpa Johnson & Johnson pada tahun 1982. Lusinan kapsul terkontaminasi zat sianida. Tujuh orang yang meminum kapsul tewas segera (Putra dalam Ardianto, 2011). Sebagai produsen, Johnson & Johnson langsung menarik kembali obat tersebut dengan biaya mencapai lebih dari 100 juta dolar.
Apa sebenarnya krisis jika dipandang dalam konteks public relations? Fearns-Banks  menyatakan bahwa krisis adalah situasi atau kejadian besar dengan dampak negatif yang secara potensial mempengaruhi sebuah organisasi atau industri, termasuk publik, produk, jasa atau nama baik (dalam Ardianto, 2011). Definisi ini menekankan bahwa krisis memiliki kecenderungan berdampak negatif pada perusahaan. Biaya penarikan produk sebesar 100 juta dolar oleh Johnson & Johnson serta penurunan nama baik tentu dampak negatif dari krisi Tylenol.
Holsti mendefinisikan krisis sebagai situasi-situasi yang ditandai dengan keterkejutan dan mengancam nilai-nilai penting, serta membuat keputusan dalam waktu singkat (dalam Ardianto, 2011). Kemunculan memang sulit diprediksi dan selalu membuat kejutan. Serta penanganan krisis memang membutuhkan waktu yang singkat. Krisis tidak dapat dibiarkan berlarut-larut karena berdampak negatif pada perusahaan. Tell it all and Tell it fast merupakan kunci penanganan krisis yang baik (Seitel dalam Ardianto, 2011).
White dan Mazur (dalam Baines, Egan dan Jefkins, 2004) mendefinisikan krisis kedalam tiga karakteristik, yaitu (1) Mengancam kelangsungan hidup, keselamatan dan keberadaan organisasi/perusahaan, (2) Para pengambil kebijakan harus bergerak cepat untuk menyelesaikan krisis, (3) Tekanan (stress) dirasakan oleh pihak yang diberi tanggung jawab menyelesaikan krisis. Dampak negatif, waktu penyelesaian cepat dan tekanan merupakan ciri khas krisis yang dapat terjadi pada perusahaan. Februari 2011 Toyota terpaksa harus me-recall sebanyak 2,17 juta kendaraan lantaran masalah pada pedal gas. Kebijakan ini diambil setelah mendapat laporan beberapa kecelakaan pada kendaraan Toyota yang diakibatkan oleh macetnya pedal gas. Proses recall ini memang merupakan kebijakan yang tepat sebelum terjadi dampak yang lebih besar lagi.
Lerbinger (dalam Tench dan Yeomans, 2006) mengkategorikan krisis berdasarkan dua faktor penyebab, yaitu kegagalan manajerial serta tekanan lingkungan. Kedelapan kategori tersebut adalah (1) Alam, misalnya saja kasus tsunami Jepang yang menyebabkan pabrik Honda dan Nissan merugi besar. (2) Teknologi, product recall pada Toyota merupakan salah satu kegagalan teknologi yang menyebabkan krisis, (3) Konfrontasi, kasus boikot oleh konsumen karena Shell Oil ingin menenggelamkan kilang minyak di Brent Spar, (4) Tekanan dari luar. Tekanan ini biasanya berasal dari pihak yang dikecewakan oleh perusahaan atau komunitas yang tidak setuju dengan aksi perusahaan, (5) Ketidakseimbangan nilai pada manajemen, misalnya kasus Barings Bank yang bangkrut lantaran dana nasabah dipergunakan tidak semestinya oleh manajemen, (6) Penipuan, bisa dilakukan oleh manajemen ataupun oleh pihak luar. Misalnya saja manajemen nakal yang mencantumkan pajak penghasilan karyawan lebih besar dari nilai yang ditentukan oleh pemerintah, (7) Kenakalan manajemen, kasus kenakalan manajemen Enron merupakan kasus nyata yang cukup merisaukan perusahaan dank klien mereka, dan (8) Ekonomi dan bisnis, kemunculan industri IT ternyata telah mempengaruhi gaya manajemen ataupun pelayanan perusahaan-perusahaan di dunia.