Halaman

Rabu, 20 Juni 2012

Empat Paradigma Penelitian Komunikasi (Chapter 2)


Paradigma yang ketiga, konstruktivisme, merupakan paradigma yang toleran, longgar serta tidak terlalu mementingkan tahap penelitian. Paradigma ini melahirkan metode penelitian kualitatif yang memiliki sifat berbeda –sangat berbeda- dengan kuantitatif. Realitass memiliki sifat relatif, yang merupakan hasil dari konstruksi mental yang bermacam-macam dan tak dapat diindra (Denzin dan Lincoln, 2009). Realitass dibentuk oleh pengalaman dan konstruksi sosial yang berlaku. Selain itu, realitass juga berciri lokal dan spesifik dan bentuk serta isinya bergantung pada manusia atau kelompok sosial yang memiliki konstruksi tersebut. Tidak ada unsur generalisasi dalam penciptaan realitass. Dan muncul istilah realitass majemuk yang merupakan simplifikasi dari banyaknya jumlah realitass yang tercipta.
Bagi kaum konstruktivis, semesta merupakan suatu konstruksi, artinya bahwa semesta bukan dimengerti sebagai semesta yang otonom, akan tetapi dikonstruksi secara sosial (Ardianto, 2009). Manusia merupakan tokoh sentral dalam proses komunikasi. Mirip dengan paradigma sebelumnya? Tentu tidak, disini komunikasi tidak bergantung pada pengirim melainkan penerima (recipient-oriented). Ketika penerima memahami pesan yang disampaikan dan mengonstruksi pesan tersebut sesuai dengan rujukan yang dimiliki, maka terjadilah proses komunikasi. Seorang bayi yang belum mengerti ketatabahasaan, apalagi mempelajari voice akan menangis ketika mendengar ibunya berbicara dengan nada tinggi sembari melotot. Apa yang ibunya lakukan, ditafsirkan sebagai ekspresi marah oleh bayi tersebut yang dilanjutkan dengan tangisan sebagai umpan balik. Penafsiran ucapan dan mimik muka oleh bayi merupakan proses komunikasi yang kemudian dikenal dengan penciptaan makna.
Sebagai payung dari sebuah penelitian, karakteristik realitass majemuk menyebabkan tidak berlakunya generalisasi seperti pada dua paradigma sebelumnya. Aroma penelitian pun berbeda dengan kuantitatif. Tidak lagi membahas pengaruh, korelasi atau hubungan sebab akibat lainnya tetapi lebih kepada memahami dan merekonstruksi berbagai konstruksi yang sebelumnya sudah ada. Penelitian kualitatif tidak harus membahas suatu permasalahan yang kemudian diharapkan lahir solusi untuk perbaikan proses komunikasi. Berbagai realitass yang jumlahnya banyak dan tersebar kemudian dipelajari untuk dipahami.
Dalam memahami isu atau fenomena yang akan diteliti, nilai-nilai yang ada dalam diri peneliti pun diperbolehkan ikut campur dalam mewarnai hasil penelitian. Ya, tentu saja hal itu pasti terjadi. Dalam penelitian konstruktivis, peneliti merupakan instrumen utama. Kuesioner yang dalam penelitian kuantitatif dijadikan sebagai senjata utama, hanya menjadi alat bantu –pada saat dibutuhkan- atau bahkan tidak dibutuhkan sama sekali.
Misalnya saja penelitian berjudul konsep diri anggota komunitas Punk sebagai identitas di kalangan masyarakat Kota Cirebon atau model komunikasi antarbudaya mahasiswa Cina di President University. Tidak ada permasalahan yang ingin dikupas pada penelitian tersebut. Konsep diri ataupun model komunikasi antarbudaya bukanlah sebuah permasalahan yang harus dipecahkan. Kedua hal tersebut hanyalah realitass yang tercipta sebagai hasil dari konstruksi sosial di kedua “dunia” tesebut –komunitas punk dan kehidupan mahasiswa Cina di President University-. Dan jangan pernah coba untuk mengeneralisasikan hasil penelitian tersebut.
Langkah penelitian yang dilakukan yaitu mengumpulkan berbagai realitass dan mengkategorikannya sesuai dengan kerangka penelitian. Peneliti tidak lagi diposisikan sebagai “ahli”, tapi sebagai partisipan yang penuh empati/semangat yang secara aktif terlibat dalam upaya mempermudah rekonstruksi (Denzin dan Lincoln, 2009).
Kembali pada peran nilai. Penelitian konstruktivisme sarat dengan niai. Sebagai instrumen utama dalam penelitian, peneliti berhak menentukan siapa yang akan menjadi responden –atau bisa juga disebut dengan informan- serta menentukan kerangka, konsep atau teori yang digunakan. Tidak seperti mekanisme pemilihan responden (sampling) dalam kuantitatif, pemilihan responden dalam kualitatif tidak merujuk pada satu rumus sampling tertentu. Dua metode sampling yang bisa digunakan adalah purposive dan snowball sampling. Peneliti menentukan sendiri siapa saja sekaligus jumlah orang yang akan menjadi penyedia informasi.
Karakteristik selanjutnya adalah Hermeneutis dan Dialektis, yang merupakan sifat variabel dan personal dari konstruksi sosial yang menunjukkan bahwa konstruksi individu hanya dapat diciptakan dan disempurnakan melalui interaksi antara dan di antara peneliti dengan responden (Denzin dan Lincoln, 2009).  Peleburan diri peneliti ke dalam dunia objek penelitian dirasa perlu untuk dapat memahami apa yang sedang terjadi, atau bagaimana konsensus yang merupakan gabungan dari realitass individu terbentuk. Peneliti harus dapat merasakan atmosfir yang meliputi dunia objek penelitian. Dari peleburan diri tersebut, peneliti kemudian dapat memahami setting pengalaman yang sedang terjadi. Tak ayal, metode observasi dan wawancara pun menjadi senjata andalan dalam teknik pengumpulan data.
Aroma Hermeneutis mewarnai laporan penelitian. Subjektivisme yang merupakan ciri khas paradigma konstruktivisme memberi keleluasaan bagi peneliti untuk mendeskripsikan pemahaman peneliti akan potret realitas yang menjadi objek penelitian. Realitass yang sejatinya merupakan bahan dasar penelitian, diramu menjadi laporan menarik berdasarkan penafsiran peneliti.
Lalu bagaimana dengan paradigma kritis? Sesuai dengan namanya, ajaran utama yang terkandung dalam paradigma ini ya kritik. Selalu mempertanyakan situasi yang sedang berlangsung. Peneliti dalam paradigma ini pun dinobatkan oleh Denzin dan Lincoln (2009) sebagai intelektual transformatif. Ilmuwan yang selalu menjelaskan bahwa realitas yang sedang kita jalani ini sebenarnya hanyalah realitas semu. Realitas yang kita anggap sebagai kehidupan yang biasa saja, merupakan “ciptaan” beberapa orang saja.
Ada empat kata kunci dalam paradigma in, yaitu (1) Kritik terhadap dominasi, (2) Ideology, (3) Hegemony dan (4) Transformasi Sosial. Dominasi dianggap sesuatu yang sangat mengganggu dan harus dilawan. Bentuk nyata dari dominasi dapat dilihat dari penggunaan bahasa, kode, simbol yang mengagunggkan kelompok tertentu, sehingga muncullah kelompok-kelompok termarjinalkan. Salah satu contoh penelitian ini adalah paham feminis yang selalu mempertanyakan peran-peran perempuan yang seringkali “tidak dihormati”, terutama sekali pada media massa.
Perempuan cantik selalu digambarkan sebagai insan yang berkulit putih bersih, bertubuh langsing, tanpa keriput, tanpa jerawat dan harus menampilkan sebanyak mungkin anggota tubuh mereka untuk memberi tahu dunia bahwa mereka cantik. Realitas cantik tersebut dianggap oleh audiens media sebagai sesuatu yang nyata dan seringkali ditemui banyak wanita yang antri di dokter kulit, setia mengkonsumsi obat pelangsing, panik ketika satu jerawat muncul. Definisi cantik yang bersifat diskriminatif ini seringkali dipertanyakan oleh para peneliti. Mengapa harus kulit putih? Mengapa harus tanpa keriput? Siapa yang merumuskan formula cantik ini? Apakah ada motif tertentu dibalik konstruksi cantik tersebut? Dan lain sebagainya. Konstruksi makna cantik tersebut dianggap telah meremehkan wanita golongan tertentu dan mereka harus disadarkan agar tidak terlalu lama terjebak pada realitas palsu.
Banyak ilmuwan paradigma kritis beranggapan dominasi yang dilakukan tersebut berlandaskan pada ideologi kelompok tertentu. Ideologi tersebut dipaksakan dengan media massa sebagai means of production bagi kelas penguasa (ruling class). Yup, paradigma kritis ini memang mengangkat pamor para konglomerat –terutama yang memiliki media massa- dan menitikberatkan nilai-nilai mereka kedalam pesan-pesan media. Hegemony –istilah yang dipopulerkan oleh Antonio Gramsci- merupakan landasan bagi paradigma ini untuk melangkah. Dominasi satu kelas (ruling class) terhadap kelas lain merupakan situasi yang kerap kali dikritik.
Realitas merupakan realisme historis (Denzin dan Lincoln, 2009). Sebuah realitas bisa dipahami pernah suatu ketika lentur, namun, dari waktu ke waktu dibentuk oleh serangkaian faktor sosial, politik, budaya, ekonomi, etnik dan gender yang kemudian mengkristal ke dalam serangkaian struktur yang saat ini (secara tidak tepat) dipandang sebagai yang “nyata” (Denzin dan Lincoln, 2009). Realitas inilah yang kemudian menjadi objek penelitian paradigma kritis.
Dunia, menurut paradigma kritis, merupakan kumpulan dari dua pandangan yang berbeda. Peneliti dipandang sebagai sekumpulan orang-orang yang sadar adanya realitas palsu. Pesan-pesan komunikasi yang orang lain anggap sebagai pesan murni, dipandang sebagai pesan-pesan yang bermuatan nilai-nilai yang bertujuan mengarahkan audiens pada pola pikir yang diinginkan oleh komunikator. Dan audiens merupakan sekumpulan orang-orang yang penuh dengan kesalahpahaman serta ketidaktahuan. Mereka selalu beranggapan bahwa apa yang mereka terima (-pesan) bebas nilai. Tidak ada kesadaran bahwa pikiran mereka digiring ke arah tertentu.


Bahan Bacaan:
Ardianto, Elvinaro dan Q-Anees, Bambang. 2009. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media
Denzin, Norman K. dan Lincoln, Yvonna S. 2009. Handbook of Qualitative Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ritzer, George (ed.). 2005. Encyclopedia of Social Theory: Volume II. California: Sage Publication

Selasa, 12 Juni 2012

Empat Paradigma Penelitian Komunikasi (Chapter 1)


Penelitian sejatinya merupakan sebuah sarana untuk memperkaya dan memperluas struktur bangunan sebuah ilmu pengetahuan. Ya, tentu saja dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan ini kita tidak boleh melupakan landasan ilmu pengetahuan yang sudah sebelumnya dibangun oleh filsafat ilmu. Tidak semua topik, tema ataupun bentuk sains dapat dijadikan sebagai sebuah ilmu. Setidaknya ada empat syarat sebuah ilmu, yaitu (1) objektif, (2) metodis, (3) sistematis dan (4) universal. Syarat kedua memberikan celah bagi pengembangan ilmu pengetahuan melalui penelitian. Dan komunikasi sudah memenuhi keempat syarat tersebut sehingga layak disebut sebagai Ilmu.
Dalam penelitian ilmu komunikasi terdapat empat paradigma yang memayungi, yaitu (1) Positivisme, (2) Post-Positivisme, (3) Konstruktivisme dan (4) Kritis. Keempat paradigma tersebut tentu saja memandang komunikasi dari sudut pandang yang berbeda. Maklum saja, namanya juga paradigma yang Ritzer (2005) sebut sebagai sebuah landasan awal subjek dalam sebuah ilmu. Lebih lanjut lagi, Ritzer (2005) menyebutkan bahwa paradigma haruslah memuat empat komponen, yaitu (1) Apa yang harus dipelajari, (2) Pertanyaan apa yang harus dilontarkan, (3) Bagaimana pertanyaan tersebut dilontarkan,  dan (4) Peraturan apa saja yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban-jawaban yang akan muncul.
Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas panjang lebar mengenai definisi paradigma karena sudah banyak literatur yang membahas paradigma. Topik yang akan coba saya kupas disini adalah empat paradigma dalam komunikasi, namun pembahasannya lebih difokuskan pada bagaimana keempat paradigma tersebut memayungi penelitian komunikasi.
Menurut paradigma positivisme, komunikasi merupakan sebuah proses linier atau proses sebab akibat yang mencerminkan upaya pengirim pesan untuk mengubah pengetahuan penerima pesan yang pasif (Ardianto, 2009). Paradigma ini memandang proses komunikasi ditentukan oleh pengirim (source-oriented). Berhasil atau tidaknya sebuah proses komunikasi bergantung pada upaya yang dilakukan oleh pengirim dalam mengemas pesan, menarik perhatian penerima ataupun mempelajari sifat dan karakteristik penerima untuk menentukan strategi penyampaian pesan.
Banyak model komunikasi linier yang dapat kita temukan. Misalnya saja Model Komunikasi Matematik dari Shanon dan Weaver, Model Komunikasi Retorik karya Aristoteles ataupun Model Who Says What to Whom In Which Channel With What Effect yang cukup terkenal, yang dilahirkan oleh Harold Lasswell. Kesemua model ini menggambarkan komunikasi sebagai proses pengiriman pesan. Istilah Transmission of Messages yang dicetuskan oleh John Fiske juga dapat digolongkan dalam paradigma ini.
Lalu apa implikasinya pada penelitian komunikasi? Sabar, sebelum masuk ke ranah penelitian ada baiknya saya gambarkan dulu sedikit penjelasan paradigma ini dalam memandang realitas –yang nantinya juga akan disisipkan pada penjelasan masing-masing paradigma. Positivist memandang realitas dikendalikan oleh hukum-hukum alam  dan mekanisme yang tidak dapat diubah (Denzin dan Lincoln, 2009). Hukum jika… maka… memainkan peran yang sangat sentral. Jika air dipanaskan maka akan mendidih, jika air diberi garam maka akan terasa asin, jika anak diberi tontotan kekerasan maka dia akan meniru adegan tersebut, jika seseorang menonton iklan maka dia akan membeli produk yang diiklankan dan jika maka yang lain.
Prinsip jika maka tersebut mengindikasikan ciri positivisme yang lain, yaitu alam dan kehidupan bukan lagi dipahami sebagai hasil campur tangan yang ilahiah atau berdasar prinsip-prinsip spekulasi, melainkan sebagai sesuatu yang pasti, nyata dan berguna (Ardianto, 2009).  Dan inilah yang banyak mewarnai karakteristik penelitian di bidang positivisme. Jarak antara peneliti dan objek penelitian merupakan ciri khas yang melekat pada penelitian di bidang ini. Keterpisahan keduanya merupakan jaminan akan objektivitas hasil penelitian. Dan penelitian pada mazhab ini dikenal dengan nama kuantitatif.
Misalnya saja ketika ada penelitian berjudul pengaruh strategi penokohan pada iklan sepeda motor terhadap minat beli masyarakat. Strategi penokohan yang dimaksud merupakan keterlibatan tokoh-tokoh sepeda motor kelas dunia yang menjadi brand ambassador produk sepeda motor. Honda dan Yamaha menggunakan strategi ini pada tahun 2010 - 2011 kemarin. Yamaha menunjuk Valentino Rossi sebagai duta produk. Rossi muncul dalam iklan produk Yamaha Jupiter MX dan Casey Stoner menjadi bintang iklan Honda CBR 250R. Keduanya merupakan pembalap MotoGP yang merupakan ajang balap sepeda motor dengan kasta tertinggi. Rossi berkali kali menjadi juara dunia, dan kiprah Stoner di MotoGP pun sangat mengagumkan. Peneliti tertarik untuk  mengetahui pengaruh strategi tersebut terhadap minat beli masyarakat.
Pada saat meneliti, kuesioner merupakan senjata utama dalam pengumpulan data. Pada saat mengisi kuesioner, diasumsikan, responden mengisi sesuai dengan apa yang mereka yakini. Misalnya saja, pada saat muncul pertanyaan “Setelah menyaksikan iklan Yamaha Jupiter MX yang dibintangi Valentino Rossi, muncul ketertarikan untuk membeli produk tersebut”, dan responden memilih jawaban “Ya”. Jawaban tersebut, dan puluhan jawaban lainnya merupakan hasil pilihan responden tanpa ada campur tangan peneliti. Kesemua jawaban responden merupakan data yang akan diolah dan melahirkan hasil penelitian. Hasil penelitian dapat berupa pernyataan “Strategi penokohan berpengaruh besar terhadap minat beli masyarakat”.
Hasil penelitian tersebut dipercaya bersifat objektif, bebas nilai. Nilai-nilai yang melekat pada diri peneliti tidak ikut campur dalam proses kelahiran hasil penelitian. Apa yang menjadi hasil penelitian merupakan hasil murni pengolahan data yang didapat dari pernyataan responden, tanpa paksaan. Menyikapi objektivitas ini, ada pernyataan Denzin dan Lincoln (2009) yang saya suka, suara ilmuwan positisme ( dan post-positivisme) adalah suara “ilmuwan tak memihak” yang memberi masukan bagi para pengambil keputusan, pembuat kebijakan dan pelaku perubahan.
Menjelaskan, yang pada akhirnya memungkinkan untuk memprediksi dan mengendalikan fenomena (Denzin dan Lincoln, 2009) merupakan tujuan penelitian positivisme. Ilmuwan diposisikan sebagai “ahli” yang dapat melakukan analisa terhadap proses komunikasi yang sedang berlangsung. Ingat, pada mazhab ini komunikasi dipandang sebagai sesuatu yang linier dan mekanistis. Ada permulaan, proses kemudian akhir. Dan penelitian dilakukan untuk menganalisa apakah proses tersebut sudah berjalan ideal. Jika tidak, akan ketahuan dimana letak permasalahan dan perbaiki.
Paradigma kedua, post-positivisme, tidak jauh berbeda dengan positivisme yaitu penelitian bertujuan menjelaskan, prediksi dan kontrol, bebas nilai dan ilmuwan yang tidak berpihak. Hanya saja terjadi perdebatan pada sifat ilmu pengetahuan. Pada positivisme berlaku aturan verifikasi, yang berarti bahwa dimanapun dan kapanpun teori tersebut diuji maka hasilnya akan sama. Oleh karena itu, penelitian positivisme juga disebut sebagai penelitian yang menguji teori –dan seringkali teori tidak dapat dibantah kesahihan atau kebenarannya. Kalaupun ada penelitian dengan topik dan teori yang sama, maka penelitian kedua hanyalah bersifat verifikasi.
Namun, pada post-positivisme yang berlaku bukan verifikasi melainkan falsifikasi. Sebuah pengetahuan merupakan terdiri atas berbagai hipotesis yang dapat digugurkan dan dapat dipandang sebagai fakta atau hukum yang mungkin (Denzin dan Lincoln, 2009). Sebuah teori diasumsikan sebagai sesuatu yang salah, dan kemudian dilakukan penelitian berulang kali untuk membuktikan ketahanan teori tersebut. Teori yang benar-benar kuatlah yang terselamatkan. Maka tak heran muncul teori-teori tandingan yang lahir dari penelitian mazhab ini. Misalnya teori yang menganggap audiens pasif (agenda setting, SOR dan Bullet theory) harus mendapat pesaing seperti teori Uses and Gratification.

Bahan Bacaan:
Ardianto, Elvinaro dan Q-Anees, Bambang. 2009. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media
Denzin, Norman K. dan Lincoln, Yvonna S. 2009. Handbook of Qualitative Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ritzer, George (ed.). 2005. Encyclopedia of Social Theory: Volume II. California: Sage Publication