Halaman

Jumat, 21 Oktober 2011

UU Ketenagakerjaan: Misi Bunuh Diri


Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 ini menjelaskan aturan main ketenagakerjaan di Indonesia. Struktur anatomi undang-undang ini terdiri dari 18 bab dan 192 pasal dengan rincian sebagai berikut:
1)      Bab I tentang Ketentuan Umum
2)      Bab II tentang Landasan, asas dan tujuan
3)      Bab III tentang Kesempatan dan perlakuan yang sama
4)      Bab IV tentang Perencanaan dan informasi ketenagakerjaan
5)      Bab V tentang Pelatihan kerja
6)      Bab VI tentang Penempatan tenaga kerja
7)      Bab VII tentang Perluasan kesempatan kerja
8)      Bab VIII tentang Penggunaan tenaga kerja asing
9)      Bab IX tentang Hubungan kerja
10)  Bab X tentang  Perlindungan , pengupahan dan kesejahteraan
11)  Bab XI tentang Hubungan industrial
12)  Bab XII tentang Pemutusan Hubungan Kerja
13)  Bab XIII tentang Pembinaan
14)  Bab XIV tentang Pengawasan
15)  Bab XV tentang Penyidikan
16)  Bab XVI tentang Ketentuan umum dan sanksi administratif
17)  Bab XVII tentang Ketentuan peralihan dan
18)  Bab XVIII tentang Ketentuan Penutup
Undang-undang ini menjelaskan hak dan kewajiban dari masing-masing komponen yang terlibat dalam hubungan industrial, yaitu pemerintah (selaku regulator), pengusaha / perusahaan (selaku penyedia lapangan kerja) dan masyarakat pekerja.

Peran pemerintah antara lain tercermin dari bab 3 sampai bab 8, yaitu pemerintah bertanggung jawab atas kesempatan dan perlakuan yang sama, perencanaan dan informasi ketenagakerjaan, pelatihan kerja, penempatan tenaga kerja, perluasan kesempatan kerja dan penggunaa tenaga kerja asing. Peran pertama ini menitikberatkan peran pemerintah selaku penjamin kesempatan dan perlakuan yang sama dalam hubungan kerja. Pemerintah ditekankan untuk menjadi pengawas bagi para penyedia lapangan kerja. Bentuk pengawasan dapat dilakukan dengan membuat peraturan pemerintah ataupun pengawasan langsung ke pengusaha atau perusahaan.
Peran selanjutnya yang dipegang oleh pemerintah adalah sebagai perencana dan penydia informasi ketenagakerjaan. Disini pemerintah diharapkan dapat menjadi penggagas ide mengenai pemetaan/distribusi tenaga kerja. Saya rasa pemerintah saat ini, kurang mampu memegang peran seperti ini. Menurut pengamatan saya, kementrian tenaga kerja dan transmigrasi –sebagai pemegang mandat ini- beserta kementerian lainnya masih kebingungan dengan tugas dan fungsi sebagai perencana pembangunan.
Pemerintah –baik daerah ataupun pusat- memiliki blueprint akan perencanaan tenaga kerja. Dan, urbanisasi secara besar-besaran merupakan salah satu bentuk kegagalan yang nyata. Pemerintah -terutama di daerah- tidak mampu menyediakan lapangan kerja. Pasal 7 Undang-undang ini menegaskan bahwa pemerintah menetapkan kebijakan dan menyusun perencanaan tenaga kerja. Namun, dari pengamatan kasat mata saja sudah dapat kita saksikan berapa juta orang di pedesaan ataupun kota kecil yang mengeluh kurang tersedianya lapangan kerja bagi mereka. Pertanian, peternakan ataupun kelautan mestinya menjadi ladang pencetak uang yang ideal bagi mereka.
Namun, pada kenyataannya sektor ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah daerah. Misalnya saja pada kenyataan yang terjadi di daerah pantura seperti Indramyu, Cirebon, Tegal dan Brebes. Empat kota ini merupakan kota yang terletak di pesisir pantai utara. Dan mestinya laut dapat menjadi lahan ideal untuk mencari nafkah. Namun, tidak sedikit dari mereka yang putus asa dan memilih untuk pergi ke kota besar seperti Bandung atau Jakarta untuk mencari nafkah.
Padahal pemerintah pusat sudah mengalirkan dana yang cukup besar untuk pembangunan di daerah. Misalnya saja pada proyek PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) ataupun KUR (Kredit Usaha Rakyat). Dua program ini sudah semestinya menjadi katalis pembangunan di daerah. Dengan digelontorkannya dana pinjaman yang tidak sedikit dari PNPM-Mandiri, seharusnya sudah ada titik cerah bagi pemberdayaan masyarakat di daerah. Dengan digelontorkannya dana yang tidak sedikit juga dari KUR, seharusnya rakyat tidak kesulitan lagi untuk memulai berdikari di daerah mereka sendiri.
Untuk Pelatihan Kerja (Bab V, pasal 9 – 30), nampaknya sudah ada itikad baik dari pemerintah yaitu dengan didirikannya Balai Latihan Kerja yang tersebar di kota besar ataupun di daerah. Salah satunya adalah Balai Latihan Kerja Daerah (BLKD) Jakarta yang berlokasi di Jalan Karet Pasar Baru Barat V No. 23, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Berdasarkan data-data yang didapat melalui website resmi BLKD Jakarta (http://blkd.webs.com) nampak antusias masyarakat cukup besar. Antara lain dengan jumlah peserta latihan kerja yang menembus angka 100 orang. Dan program kerja yang ditawarkan pun cukup menggiurkan. Serta terjalinnya kerja sama yang baik antara BLKD dengan lebih dari 50 penyedia lapangan kerja. Penyelenggaran BLK ini sendiri merupakan amanat dari undang-undang ketenagakerjaan, pasal 9 sampai dengan pasal 30.

Bagian selanjutnya yang juga merupakan salah satu celah dari undang-undang ini adalah penggunaan tenaga kerja asing (Bab 8, pasal 42 – 49). Secara umum, bab 8 ini menjelaskan bahwa tenaga asing boleh bekerja di Indonesia untuk jabatan tertentu dalam waktu tertentu, namun dilarang keras duduk di jabatan personalia. Sungguh ironis sekali, karena justru ini merupakan blunder tersendiri bagi negara kita. Pasal ini justru dijadikan landasan yang empuk bagi perusahaan multinasional yang ingin membuka cabang di Indonesia. Dan dengan adanya kelonggaran penempatan tenaga kerja asing, perusahaan multinasional ini justru tidak merelakan posisi Chief Excecutive Officer mereka diraih oleh bangsa pribumi (red. Warga negara Indonesia). Misalnya Yoon-Woo Lee (CEO Samsung Indonesia), Miki Yamamoto (CEO Astra Honda Indonesia) dan Bob McDougall (CEO Nokia Indonesia). Dan beberapa jajaran direksi dari tiga perusahaan tersebut yang masih didominasi oleh tenaga kerja asing.
Ironis dan cukup menyedihkan. Atasan didominasi oleh tenaga kerja asing, sementara karyawan/buruh/bawahan didominasi oleh bangsa pribumi. Hal ini memang semakin menggambarkan pola neo-kolonialisasi di sektor ekonomi. Apa bedanya dengan zaman penjajahan dulu, dimana rakyat kita hanya bekerja sebagai buruh tani, buruh tanam paksa ataupun buruh pembangunan jalan Anyer-Panarukan. Pemerintah selalu bersembunyi dibalik kata-kata “percepatan pertumbuhan ekonomi dengan modal investor asing” untuk menutupi kelemahan ini.
Pola hubungan kerja yang ditawarkan undang-undang ini cukup menarik dan menimbulkan sedikit –atau bahkan banyak- polemik. Pasal 50 – 66 menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga hubungan kerja yang dapat digunakan. Hubungan pertama adalah kontrak, pegawai tetap ataupun pelimpahan pekerjaan pada pihak ketiga (tender dan outsourcing).

Saat ini kontrak sedang menjadi tren tersendiri dalam dunia pekerjaan dan kerap disalahgunakan. Penyalahgunaan sistem kontrak –sekaligus penggunaan tenaga kerja asing dapat kita saksikan pada kasus pemogokan pilot dan awak kabin Garuda Indonesia akhir Juli lalu. Pilot asing dipekerjakan dengan sistem kontrak selama satu tahun dan bisa diperpanjang. Dalam maskapai penerbangan, profesi pilot tidak dapat dikategorikan sebagai jenis pekerjaan kontrak (pasal 59 ayat 1). Dan terang saja pilot lokal melancarkan aksi mogok kerja karena pihak manajemen telah mempraktekkan sistem yang keliru.

Sekilas Tentang Kabupaten Kuningan


Kabupaten Kuningan, sebuah kota kecil yang dianugerahi kekayaan alam yang luar biasa. Panorama asri khas kaki Gunung Ciremai nampaknya telah memantapkan Kuningan sebagai kota wisata alam di daerah Jawa Barat. Lihat saja bagaimana Desa Sangkan Hurip dipenuhi oleh resort pemandian air panas. Sebut saja Hotel Prima, Kolam Renang Sangkan Hurip Alami, Hotel Sangkan Indah, Grage Hotel dan Spa dan masih banyak lagi. Tak jarang, pada musim tertentu seperti musim liburan sekolah atau hari raya, daerah ini sangat dipadati oleh wisatawan domestik maupun mancanegara.
Wisatawan domestik kebanyakan berasal dari Cirebon, Majalengka, Brebes, dan Ciamis. Keberadaan jaringan hotel besar seperti Grage Hotel dan Spa serta Hotel Prima pun menambah luas jangkauan promosi wisata daerah ini. Kedua hotel tersebut merupakan yang paling rajin dalam menjaring wisatawan. Di stasiun Kereta Api Kejaksan (Cirebon) kedua hotel tersebut menyediakan stand khusus serta kendaraan untuk langsung menuju Kuningan.
Pelestarian beberapa elemen budaya pun nampaknya tidak main-main. Kereta kuda (biasa disebut sebagai Delman) masih dilestarikan pemerintah daerah sebagai sarana transportasi masyarakat. Delman dinilai cocok untuk menjadi alat transportasi Kuningan dengan topografi yang berbukit-bukit. Selain itu, kendaraan jenis ini pun dinilai ramah lingkungan ; bebas polusi udara dan unik.

 
 Usaha Pemerintah Kuningan untuk menjadikan Kuningan sebagai kota wisata pun semakin nyata terbentuknya beberapa kelompok usaha makanan traditional. Misalnya saja aneka keripik, opak ataupun tape ketan yang mudah sekali kita jumpai di pinggir jalan kota Kuningan. Tape ketan merupakan hasil fermentasi beras ketan yang dibungkus dalam daun jambu ini merupakan salah satu kuliner khas kota Kuningan. Campuran rasa manis dan asam membuat lidah ketagihan. Kuliner  khas ini pun dikemas dengan cara yang sangat khas. Bukan dengan plastik ataupun botol, tapi dikemas di dalam ember berwarna hitam. Entah ini ide siapa, tapi memang ini unik. Di sepanjang jalan dapat dengan mudah kita jumpai warung-warung makanan khas Kuningan yang tidak jarang juga menjual tape ketan dalam ember hitam.


Kamis, 13 Oktober 2011

Konflik Perbatasan: Penyakit Lama yang Tak Kunjung Sembuh

      Akhir-akhir ini pemberitaan di TVOne dan MetroTV selalu tentang dua hal, yaitu Reshuffle Kabinet dan Konflk Perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Berita pertama cukup menarik untuk dibahas, tapi kayanya perlu analisa yang lebih dalam lagi. Tapi malam ini saya bersemangat untuk membahas berita yang kedua yaitu tentang "konflik" perbatasan.
      Diberitakan bahwa Malaysia telah "mencaplok" -kata-kata yang makin familiar dengan pemberitaan- kawasan perbatasan. Daerah yang menjadi sengketa adalah Camar Bulan dan Tanjung Datu. Kedua stasiun tv tersebut bersikukuh bahwa kedua daerah tersebut telah dicaplok Malaysia tapi pemerintah -Menkopolhukam dan TNI- punya pandangan lain. tidak ada daerah kita yang dicaplok oleh Malaysia.
Menurut pandangan saya, justru yang menjadi masalah bukan RI dengan Malaysia tapi pemerintah dengan media massa. Keduanya bersikukuh dengan pandangan mereka. Dan keduanya -entah oleh siapa- telah DIADU DOMBA.
      Isu pertikaian negara kita dengan Malaysia memang sangat renyah dan nikmat bagi media massa. Masih ingat dengan kasus Sipadan-Ligitan, Ambalat, Angklung, Batik ataupun lagu Rasa Sayange?? Kesemua itu pernah menjadi topik hangat di media massa. Untuk memenangkan pertikaian tersebut, kita memang sudah membuat beberapa langkah strategis seperti mendafarkan batik sebagai warisan budaya kita. Dan baru-baru ini Indonesia telah membuat rekor dunia dengan mencatatkan "bermain angklung terbanyak se dunia", kalo saya tidak salah di London dan dikomandoi oleh maestro angklung, Kang Udjo.
      Konflik perbatasan ataupun materi pertikaian lainnya sebaiknya tidak perlu diperuncing lagi. Jangan sampai isu ini malah memecah belah kita. Biarkan para ahli menyelesaikan masalah ini. Toh sudah ada pengadilan internasional yang akan memediasi permasalahan ini. Yang perlu ditegaskan adalah : Seberapa Pedulikah Kita Pada Kekayaan Bangsa?????
      Menurut saya kasus batik merupakan hal yang paling memalukan bagi bangsa kita. Sebelum ada insiden perebutan batik, batik hanyalah pakaian yang dipakai khusus ke acara hajatan!! Dan pemakaian batik pun hanya dikhususkan bagi para "orang tua" saja. Anak muda enggan atau bahkan malu pakai batik. Tapi setelah batik "direbut" oleh Malaysia dan diberitakan secara luas dan intens oleh media massa, semua orang mendadak cinta batik. Anak muda pun langsung peduli pada batik. Para desainer tanah air pun langsung meluncurkan batik kombinasi rancangan mereka. Sentra batik langsung ramai dikunjungi.
  Haduh...... benar-benar menyedihkan. Apakah harus selalu seperti ini??? Apa harus ada "perebutan/pencaplokan/klaim"  kekayaan bangsa lantas kita sadar bahwa khazanah itu ada dan langsung mencintainya?? Seandainya Malaysia tidak mengklaim batik, apakah kita akan mencintai batik??
Kasus perbatasan ini juga sebenarnya pekerjaan rumah bagi pemerintah dan warga negara Indonesia. Kalo diamati dari pemberitaan media massa, nampak terjadi perbedaan yang cukup mencolok antara kawasan perbatasan di kedua negara. Di perbatasan Malaysia, sudah tersedia sekolah beserta asrama yang sangat memadai. Di kawasan Indonesia??haha...jangankan sekolah, listrikpun kabarnya tidak ada. Di kawasan Malaysia juga sudah tersedia resort dan turis-turis pun berdatangan. Lalu, seandainya sengketa perbatasan itu berakhir, apa lantas kita baru peduli pada daerah perbatasan??
      Sayang sekali kalau sikap reaktif ini tak kunjung sembuh. Saat ini, mari kita rawat dan cintai khazanah budaya Indonesia tanpa harus melewati sengketa dengan Malaysia. Janganlah hubungan kita dengan Malaysia rusak hanya karena kita asyik menikmati budaya lain -melupakan budaya sendiri-. Lupakan modern dance, rap, starbucks, boyband/girlband Korea2an ataupun budaya luar lain. Mari kita lestarika Jaipong, Keroncong, Gamelan, Kecapi, Seruling -dan artefak budaya lain-..... Kalo bukan kita yang memulai, SIAPA LAGI COYYY.......

Selasa, 11 Oktober 2011

Undang-undang ketenagakerjaan

Buat temen-temen yang membutuhkan undang-undang mengenai ketenagakerjaan, silakan klik link:
http://www.4shared.com/file/z3FwBZOQ/Undang-undang.html
Paketan undang-undang ini terdiri dari 3, yaitu:

  1. Undang-undang no 13 tahun 2003
  2. Undang-undang no 2 tahun 2000, dan
  3. Undang-undang no 21 tahun 2000.
Monggo dianalisa.....

Kamis, 06 Oktober 2011

Humas Pemerintah


Peranan humas di lingkungan pemerintahan sangat penting dalam membangun citra positif bangsa dan negara. Apalagi dewasa ini pemerintah tengah menghadapi berbagai persoalan kemasyarakatan yang mendasar. Upaya revitalisasi peranan kehumasan sangat penting dan menjadi tuntutan yang mendesak saat ini, wajib dilaksanakan di semua instansi pemerintah, sebagai momentum strategis untuk melakukan perubahan tatanan peranan kehumasan yang dapat bersinergi secara efektif.  Humas pemerintah selalu dituntut kemampuannya dalam menghadapi tantangan dan perubahan lingkungan yang sangat cepat.
Sementara itu, diakui bila selama ini peran dan fungsi humas di lingkungan pemerintahan daerah masih sangat terbatas dan belum optimal. Alasannya karena keterbatasan kemampuan SDM dari para pejabat humas itu sendiri dalam penguasaan substansi tugas dan peran, kurangnya pejabat yang berkualifikasi kehumasan dari sisi  pemahaman tentang arti dan fungsi dari humas itu sendiri.
Dalam sebuah organisasi khususnya di lingkup pemerintahan daerah, humas memegang peranan yang sangat penting dan strategis. Selain itu, sebagai sebuah kegiatan komunikasi, humas juga berfungsi sebagai jembatan untuk membangun suasana yang kondusif dalam kerangka ‘win-win solutions’, antar berbagai stakeholders organisasi, baik internal maupun eksternal dalam rangka membangun image atau citra dari organisasi pemerintah itu sendiri.
Peran dan fungsi humas pemerintah selama ini masih kalah kelas bila dibandingkan dengan public relations organisasi bisnis atau kalangan dunia usaha lainnya. Sadar bahwa humas memiliki peran yang semakin penting dan strategis, bupati mengharapkan agar aparatur kehumasan pemerintah sebisa mungkin lebih memperluas wawasan, pemahaman dan pengetahuan di seputar dunia kehumasan agar kinerja dan profesionalisme tugas pemerintahan dapat terlaksana dengan baik.

Humas Sebagai Penyambung Lidah
Istilah penyambung lidah kerap kali digunakan untuk menjelaskan suatu fungsi perantara antara satu pihak dengan yang lain. Nah, salah satu fungsi humas pemerintah adalah penyambung lidah antara pemerintah dengan beberapa pemangku (stakeholder) kepentingan pemerintah. Dalam Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara (Permen PAN) nomor 8 tahun 2007, para pemangku kepentingan pemerintah terbagi kedalam enam kategori, yaitu kelompok media, kelompok internal, kelompok eksternal, kelompok lembaga, kelompok LSM dan kelompok lembaga tertentu (lembaga penyelenggara negara lain).
Pegawai humas pemerintah harus mampu memposisikan diri sebagai jembatan antara pemerintah dengan kelompok-kelompok tersebut. Memang jika ditilik lebih dalam lagi, tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara tugas dan tanggung jawab humas pemerintah dengan humas swasta. Dengan media massa pegawai humas harus mampu menjalin keeratan kerja. Realisasinya dapat berupa pertemuan rutin, penyedia bahan ataupun dalam bentuk hubungan informal. Media massa harus dipandang sebagai mitra kerja, bukan pesaing. Hal ini untuk menjalin hubungan saling menguntungkan diantara keduanya. Pegawai humas memiliki informasi yang butuh dipublikasikan, dan media massa memiliki saluran yang dapat difungsikan sebagai corong kepada masyarakat. Dengan adanya keeratan hubungan ini, diharapkan humas dapat memacu kinerja pemerintah yang sedang giat-giatnya membangun.
Sama dengan fungsi humas pada umumnya, humas pemerintah juga harus menjembatani hubungan pemerintah dengan pegawainya. Ini mungkin pekerjaan yang cukup sederhana. Pegawai humas harus mampu membuat kerangka kerja yang dapat membuat pegawai pemerintah (PNS) lainnya merasa betah dan di’manusia’kan. Perwujudan langkah kerja ini dapat meniru model hubugan internal yang biasa dilakukan di perusahaan/instansi swasta seperti adanya rapat berkala dengan pimpinan, kotak keluhan/saran, liburan bersama dan kegiatan lainnya.
Kelompok lain adalah kelompok eksternal. Kategori ini sebenarnya agak rancu. Karena biasanya ada penggolongan publik yang hanya digolongkan pada publik internal dan eksternal. Publik internal adalah karyawan perusahaan / instansi dan sisanya adalah kelompok eksternal. Namun, penggolongan publik eksternal yang dimaksud disini adalah masyarakat / komunitas masyarakat. Dan inilah publik yang semestinya mendapat perhatian serius dari pegawai humas pemerintah.
Para pegawai humas pemerintah harus mampu menciptakan suatu program kerja yang dapat menghubungkan masyarakat dengan pemerintah. Memang membutuhkan satu program tepat yang menjangkau seluruh masyarakat. Namun, bukan suatu hal yang tidak mungkin jumlah masyarakat yang cukup banyak itu dapat dijangkau oleh pegawai humas pemerintah. Untuk mencapai itu, biasanya yang dirangkul untuk diajak berdiskusi adalah para pemuka pendapat (opinion leaders). Metode ini memang cukup realistis untuk menjembatani pemerintah dengan masyarakat.
Kelompok lainnya adalah kelompok lembaga yang meliputi BUMN/BUMD, TNI dan POLRI. Berbagai lembaga ini diperlukan untuk menjadi katalis dalam usaha pembangunan daerah. Pada saat ini, pemerintah tidak bisa melakukan pembangunan seorang diri. Butuh bantuan dan dukungan dari berbagai elemen lain. Untuk kelompok publik ini, pegawai humas diharapkan dapat menjalin koordinasi masing-masing lembaga dengan pemerintah. Koordinasi yang baik akan memudahkan pemerintah untuk berdiskusi ataupun sosialisasi program kerja yang akan, sedang ataupun telah dilakukan. Metode ini juga cocok digunakan untuk kelompok lembaga selanjutnya yaitu kelompok lembaga tertentu, yaitu lembaga penyelenggara lainnya.
Kelompok terakhir adalah adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). LSM sering kali menjadi mitra ataupun ‘pengganggu’ pemerintah dalam menjalankan program kerja. Tidak jarang LSM memposisikan diri sebagai pendamping pemerintah dalam menjalankan fungsi advokasi ataupun pengawas. Namun kerap kali LSM menjadi ‘pengganggu’ pemerintah. Kritik, masukan ataupun cercaan dari LSM sering disampaikan secara lantang. Cara yang ditempuh dapat dengan cara halus seperti mengadakan konferensi pers ataupun dengan cara kasar seperti unjuk rasa yang dapat memicu konflik ataupun kerusakan. Untuk kelompok yang satu ini, pegawai humas harus bekerja maksimal. Sebisa mungkin pegawai humas harus membina hubungan saling menguntungkan dengan LSM. Cara yang ditempuh dengan meminimalisir LSM yang sering menjadi ‘pengganggu’.

Humas Sebagai Pusat Informasi
Penguasaan informasi merupakan syarat mutlak bagi praktisi dalam mengemban tugasnya di dalam suatu organisasi, baik dalam hubungannya dengan pihak pimpinan, maupun dengan khalayak dalam, dan terlebih lagi dengan khalayak luar, informasi merupakan masukan yang harus dikuasai atau dimiliki.
Penguasaan informasi dapat dimulai dari kejelian mereka akan informasi ataupun beberapa fenomena yang memiliki nilai informasi. Sutabri (2005) menggolongkan informasi kedalam beberapa kategori, salah satunya adalah informasi berdasarkan dimensi waktu yaitu informasi masa lalu dan informasi masa kini. Informasi masa lalu biasanya sudah dikemas dalam bentuk arsip. Informasi ini bisa digunakan pegawai humas pemerintah untuk disebarkan dan digunakan sebagai bahan perencanaan program humas.
Informasi masa kini berupa agenda-agenda kegiatan yang akan dilakukan oleh pemerintah. Namun, kecakapan yang dibutuhkan tidak hanya mengenali berdasarkan kategori tapi lebih kepada pengemasan informasi tersebut. Pasal 19 PermenPAN nomor 8 tahun 2007 menyebutkan bahwa website dapat digunakan sebagai media penyebaran informasi. Website hanyalah merupakan salah satu media, tapi pegawai humas juga harus mampu mengemas informasi dalam bentuk yang diperlukan pemangku kepentingan. Bentuk kerja ini dapat berupa penyediaan bahan untuk konferensi pers,  buku panduan program kerja, mailing list atau bentuk apapun.
Semua ini tidak terlepas dari upaya untuk mengubah perilaku khalayak melalui dua jenjang, yaitu transforming role dan socializing role. Yang pertama dimaksudkan untuk mengubah perilaku publik, sementara yang kedua adalah hasil yang dapat diperoleh.

Humas Pemerintah dan UU KIP
Undang-undang No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik merupakan tantangan tersendiri bagi humas pemerintah. Undang-undang merupakan perundangan yang cukup merepotkan para humas pemerintah. Biasanya, segala informasi yang ada di badan publik bersifat tertutup namun dengan munculnya peraturan ini, semuanya berbanding terbalik. Sekarang semuanya haruslah bersifat terbuka kecuali dokumen atau informasi yang dinyatakan rahasia.
Sebagai penyedia informasi publik seorang pegawai humas badan publik harus jeli terhadap informasi publik. Humas pemerintah dituntut untuk selalu menyediakan informasi jika atau pun tanpa diminta. Untuk itu pengetahuan pegawai humas tentang peraturan ini harus ditingkatkan.
Peraturan ini sebenarnya ada baiknya juga. Humas pemerintah memiliki kompetitor tetap yang selalu selangkah lebih maju, yaitu media massa. Media massa seharusnya menjadi mitra dari pegawai humas. Hal ini sudah ditegaskan dalam Permen PAN No 8 tahun 2007 bahwa media massa merupakan salah satu pemangku kepentingan humas pemerintah. Dan seharusnya humas pemerintah mampu memberikan segala informasi yang diminta oleh media massa.
Namun, justru yang nampak malah sebaliknya. Media massa dan humas pemerintah malah berlomba-lomba menyajikan informasi kepada masyarakat. Humas pemerintah –yang memang sudah salah satu tugasnya- menyajikan informasi kepada masyarakat tentang citra baik pemerintah. Media massa pun kerap kali melakukan hal sama, namun tidak jarang media massa lebih bersikap kritis terhadap kinerja aparat pemerintah.
Sikap kritis media massa memang sudah bukan hal yang mengejutkan. Seringkali pegawai humas pemerintah harus menetralisir keadaan. Dan inilah yang kerap kali menjadi hal yang sangat merepotkan para pegawai humas, yaitu terus menerus menjadi orang terdepan dalam mengklarifikasi berbagai kesalahan yang belum tentu dia lakukan. Pegawai humas harus mengklarifikasi mangkirnya para aparat negara yang masih dalam suasana mudik lebaran.
Oleh karena itu, -saya tekankan lagi- pegawai humas pemerintah harus jeli terhadap segala macam informasi. Pegawai humas pemerintah diberi tanggung jawab untuk mempertahankan citra pemerintah dan kemelut dengan mdia massa hanyalah salah satu contoh kecil dari berbagai kemelut yang biasa mereka hadapi.
Pada dasarnya peraturan ini mempermudah kinerja pegawai humas pemerintah. Dengan adanya undang-undang ini pegawai humas dapat memohon untuk mendapatkan kemudahan akses ke segala lini pemerintahan untuk mendapatkan informasi. Dengan kemudahan akses tersebut pegawai humas dapat lebih mempersiapkan strategi komunikasi yang dibutuhkan untuk penyampaian informasi kepada masyarakat.
Dengan adanya undang-undang ini juga, para pegawai humas pemerintah dituntut untuk lebih terampil lagi dalam mengolah informasi yang menjadi konsumsi publik. Tidak hanya berbicara, pegawai humas pemerintah juga harus memiliki keterampilan menulis. Pasal 19 Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara menyatakan bahwa website merupakan salah satu media komunikasi humas pemerintah.
Permbuatan website tentunya tidak hanya menuntut keterampilan yang bersifat teknis seperti teknik pembuatan website, tapi juga menuntut kemampuan konseptual dalam hal penataan informasi yang akan disajikan. Seperti jenis informasi yang akan ditampilkan di website dan mekanisme update.

Kesenjangan Besar Antara Teori dengan Kenyataan
Judul sub bahasan ini memang tepat untuk menggambarkan kenyataan yang terjadi. Berbagai panduan serta teori tentang humas pemerintah pun sudah tersedia banyak. Bahkan pegawai humas pun dipermudah lagi dengan tersedianya beberapa model humas perusahaan/instansi swasta yang dapat diadopsi. Namun, seringkali semua itu tidak dilirik oleh pegawai humas. Dan inilah masalah yang sebenarnya.
Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara No. 8 tahun 2007 sudah sangat bagus untuk diterapkan di humas pemerintah. Peraturan tersebut dapat dijadikan sebagai acuan kerja, namun tidak jarang pegawai humas yang kebingungan tentang tugas dan fungsi humas itu sendiri. Tak jarang para pegawai humas memaknai pekerjaan humas sebagai ‘tukang kliping’ dan juru bicara.
Saya pernah beberapa kali mengunjungi instansi pemerintah dan fenomena yang saya temui pun cukup mengharukan. Posisi humas ini seringkali dianggap remeh. Posisi ini lebih banyak diisi oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan sangat dangkal tentang tugas dan fungsi humas. Tidak sedikit dari mereka yang tidak memiliki latar belakang pendidikan kehumasan. Kelemahan ini sedikit tertutupi dengan beberapa latihan/training kehumasan yang diikuti, namun sangat sedikit. Karena pada umumnya mereka kesulitan menerapkan ilmu yang mereka dapat.
Kelemahan ini memang mengindikasikan adanya kesalahan dalam prosedur perekrutan sumber daya manusia. Pola perekrutan ini sebenarnya sudah diatur dengan jelas dalam Permenpan yang sudah sering saya sebutkan diatas. Namun, pada praktiknya memang banyak terdapat celah yang merusak citra pegawai humas itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Jefkins, Frank. 2005. Public Relations. Jakarta : Penerbit Erlangga
Sutabri, Tata. 2005. Sistem Informasi Manajemen. Yogyakarta : Penerbit Andi